"Di sini saya bukan mengajar, melainkan belajar dari anak-anak ini. Dengan semua kekurangan mereka yang dilihat oleh manusia, ternyata mereka punya kelebihan yang tak terbayangkan oleh kita. Itu yang menginspirasi saya selalu mengajar dengan hati, dan selalu memberikan yang terbaik," kata Adeli (59), guru Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Singkawang.
Selengkapnya"Di sini saya bukan mengajar, melainkan belajar dari anak-anak ini. Dengan semua kekurangan mereka yang dilihat oleh manusia, ternyata mereka punya kelebihan yang tak terbayangkan oleh kita. Itu yang menginspirasi saya selalu mengajar dengan hati, dan selalu memberikan yang terbaik," kata Adeli (59), guru Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Singkawang.
Adeli bercerita selama mengajar puluhan tahun, ia sudah mempelajari sejumlah hal yang baru, baik untuk tuna grahita, wicara, dan sejumlah anak disabilitas lainnya. "Di sekolah ini, hanya ada belasan guru saja, yang harus mengasuh dan mendidik ratusan murid. Dari belasan itu, hanya 4 yang memiliki spesialisasi mengajar bekebutuhan khusus, sisanya dari sarjana pendidikan umum," katanya.
Andi Liardi (23) memiliki sanggar model AL Production. Ia mengawali kariernya dengan menjadi penata rias keliling pada tahun 2012. Dengan kerja keras, ia bisa memiliki sanggar sendiri.
SelengkapnyaAndi Liardi (23) memiliki sanggar model AL Production. Ia mengawali kariernya dengan menjadi penata rias keliling pada tahun 2012. Dengan kerja keras, ia bisa memiliki sanggar sendiri.
"Awalnya itu saya jadi tukang make up, yang dibayar 30.000 per-10 kepala, lalu naik lagi jadi 50.000 per-10 kepala. Dari situ saya senang dapat bayaran dan terus mendalami cara-cara make up yang lebih bagus, hingga sekarang saya jadi make up artist yang di bayar untuk dandanin artis lokal maupun nasional," ujarnya.
"Saya juga mulai belajar desain baju, dan ikut ajang lomba terus juga masuk sanggar model di pontianak, ikut lomba juga, dapat juara. Dan pada akhirnya sekarang saya bisa dirikan sanggar Al Production yang sudah punya ratusan anggota, dan sudah beberapa kali berhasil mengirim anak didik saya ke event nasional," katanya.
"Buka usaha ini sedikit berspekulasi. Awalnya sayang-sayang juga, karena harus jual kamera dan laptop untuk sewa ruko dan beli biji kopi serta hari-hari bayar air dan listrik. Tapi emang nekat ya, ramai juga akhirnya," kata Robi Cahyadi (37), pemilik warung kopi.
Selengkapnya"Buka usaha ini sedikit berspekulasi. Awalnya sayang-sayang juga, karena harus jual kamera dan laptop untuk sewa ruko dan beli biji kopi serta hari-hari bayar air dan listrik. Tapi emang nekat ya, ramai juga akhirnya," kata Robi Cahyadi (37), pemilik warung kopi.
Robi awalnya memang seorang fotografer. Lalu ia berusaha untuk membuka usaha. "Kalau dengerin orang, kita gak bakalan maju. Kunci usaha itu cuma dua, ya kerja keras dan doa. Itu aja, pasti dapat hasil kok. Jangan malas, dan cari peluang, serta berani lihat peluang," ujarnya.
Kini, warung kopinya selalu ramai dikunjungi berbagai komunitas khususnya komunitas fotografi di Pontianak. Apalagi, kopi yang diroastingnya cukup lekat di lidah warga Kota Pontianak, di mana ia memesan sendiri kopi dari Palembang yang diroasting di Singkawang.
Sofia Rahayu (16) sejak SD telah mengikuti berbagai ajang kompetisi melukis. Ia belajar melukis secara otodidak. Selain pandai melukis, Sofia juga pandai membuat desain dalam bentuk 3D maupun 4D.
SelengkapnyaSofia Rahayu (16) sejak SD telah mengikuti berbagai ajang kompetisi melukis. Ia belajar melukis secara otodidak. Selain pandai melukis, Sofia juga pandai membuat desain dalam bentuk 3D maupun 4D.
"Emang dari kecil tu suke liat orang gambar-gambar di Youtube, dari situ lah saye minta belikan bapak buku gambar lalu belajar", ujarnya dengan dialeg Melayu Pontianak kental.
Saat ditanya apa cita-citanya?," Pengen bise kuliah di Jawe, jurusan desain, terus nanti bise jadi desainer terkenal, selaen melukis saye suke ngedesain juga", katanya.
Redha Nagara Hanis (24) lulusan Universitas Pembanganunan Nasional (UPN) Veteran Jogjakarta. Ia mengaku demi meraih gelar sarjana di kota perantauan, dia harus bisa berusaha sendiri memenuhi kehidupannya. Selama 5 tahun mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi, Redha juga bekerja. Mulai dari menjadi penjaga kafe, membuat desain logo atau kaos, menjual ayam bakar, hingga belajar fotografi hingga menjadi fotografer dilakoninya.
SelengkapnyaRedha Nagara Hanis (24) lulusan Universitas Pembanganunan Nasional (UPN) Veteran Jogjakarta. Ia mengaku demi meraih gelar sarjana di kota perantauan, dia harus bisa berusaha sendiri memenuhi kehidupannya. Selama 5 tahun mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi, Redha juga bekerja. Mulai dari menjadi penjaga kafe, membuat desain logo atau kaos, menjual ayam bakar, hingga belajar fotografi hingga menjadi fotografer dilakoninya.
"Perantau itu harus tangguh, kalau gak tangguh mending gak usah ngerantau, harus punya mental baja, kalau gak gitu ya gak bisa bertahan, kalau orang tua punya uang banyak dan rutin ngirim sih enak. Kalau kayak saya kan selain kewajiban meraih gelar sarjana, saya juga punya kewajiban untuk bisa bertahan hidup," katanya.
Akbar (15), sejak usia 2 tahun membutuhkan perhatian khusus dari kedua orang tuanya. Warga Gang Karet Lestari Pontianak Barat ini menjadi anak berkebutuhan khusus akibat panas tinggi yang dideritanya waktu kecil. Namun begitu, Akbar masih bisa bicara, dan mengerti apa yang ditanyakan oleh orang sekitar.
SelengkapnyaAkbar (15), sejak usia 2 tahun membutuhkan perhatian khusus dari kedua orang tuanya. Warga Gang Karet Lestari Pontianak Barat ini menjadi anak berkebutuhan khusus akibat panas tinggi yang dideritanya waktu kecil. Namun begitu, Akbar masih bisa bicara, dan mengerti apa yang ditanyakan oleh orang sekitar.
"Ini lagi bikin sapu lidi. Iya bantu jak, biar bisa belanja yang lain, beli permen beli kue," ujarnya polos.
Karena keterbatasan biaya, Akbar tak kunjung mengenyam pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Apalagi, sekolah itu memang di Pontianak yang dimiliki oleh Yayasan Swasta.
Kendati memiliki kebutuhan khusus, namun banyak sekali karya yang telah dihasilkan Akbar. Selain sapu lidi, anyaman dari koran bekas juga kerap dibuatnya bersama ibunya yang sehari-hari menjadi penjahit baju wanita.
Jony Iskandar (37) merantau dari Jawa Tengah ke Kota Pontianak sejak 5 tahun silam. Ia pernah menjadi petugas kolam renang, penjaga warung kopi, serta menjadi penjaga tanaman di toko bunga. Bagi Jony, merantau bukanlah hal yang mudah, banyak lika-liku kehidupan yang harus di terjang.
SelengkapnyaJony Iskandar (37) merantau dari Jawa Tengah ke Kota Pontianak sejak 5 tahun silam. Ia pernah menjadi petugas kolam renang, penjaga warung kopi, serta menjadi penjaga tanaman di toko bunga. Bagi Jony, merantau bukanlah hal yang mudah, banyak lika-liku kehidupan yang harus di terjang.
"Ninggalin Jawa tahun 2012, kerja udah pindah-pindah. Gak mudah, soalnya banyak perubahan yang harus dihadapi, tapi bukan berarti harus nyerah gitu aja, harus dihadapi, karena malu juga kalau pulang lagi ke kampung cuma karena gak bisa adaptasi dan bertahan hidup sendiri disini," katanya.
Pada pekerjaan baru sebagai penjaga taman di Kota Pontianak, Jony mengaku memperoleh banyak sekali pelajaran hidup. Tanaman utamanya bunga, membuatnya semakin mengenal alam. Baginya alam wajib dijaga, diurus, dirawat dan dipercantik.
“Mungkin banyak orang yang kalau demo, atau nyantai tidak mikirin tanaman yang diinjak, terus gak mikirin gimana para perawat tanamannya harus bekerja tiap hari membersihkan sampah dan rumput liar. Makanya saya bersyukur sekali, dari pekerjaan ini jadi pelajaran tambahan dalam hidup saya,” katanya.
Menjadi penerjemah bahasa isyarat sudah dijalani Riska Muiza sejak dua tahun terakhir. Lulusan Universitas Manado (Unima) ini sangat menyukai anak-anak tuna rungu dan anak disabilitas lainnya. Mereka selama ini kurang mendapat perhatian.
SelengkapnyaMenjadi penerjemah bahasa isyarat sudah dijalani Riska Muiza sejak dua tahun terakhir. Lulusan Universitas Manado (Unima) ini sangat menyukai anak-anak tuna rungu dan anak disabilitas lainnya. Mereka selama ini kurang mendapat perhatian.
Riska kerap mendampingi sejumlah anak-anak utamanya tuna rungu yang kesulitan belajar untuk berbahasa isyarat. Ia juga sering dipanggil menjadi penerjemah bahasa isyarat baik untuk debat publik pemilihan kepala daerah, juga beberapa acara yang mengharuskan adanya ketersediaan disabilitas, untuk turut serta.
“Ya penyandang disabilitas masih suka diremehkan. Padahal mereka punya kelebihan luar biasa, yang kadang saya sendiri tidak miliki. Lewat bahasa isyarat ini mereka bisa menyampaikan apa yang mau mereka buat, dan lakukan,” ungkapnya.
Berjualan sate menjadi pekerjaan sehari-hari Zulkifli (50) yang biasa disapa Uda Zul. Ia membuka usaha di bilangan Setia Budi kawasan pasar Hongkong, Kota Singkawang, Kalimantan Barat.
SelengkapnyaBerjualan sate menjadi pekerjaan sehari-hari Zulkifli (50) yang biasa disapa Uda Zul. Ia membuka usaha di bilangan Setia Budi kawasan pasar Hongkong, Kota Singkawang, Kalimantan Barat.
"Udah 20 tahunanlah jualan sate ini, dulu sih kerja jadi kuli rumah makan, pernah juga jadi kuli di kapal," katanya. Saat bekerja di kapal, musibah terjadi. Kapalnya karam dan membuatnya trauma kembali bekerja di kapal.
"Habis itu saya kerja jadi kuli rumah makan, dan lama-lama saya berpikir, saya kan belajar resep sate padang di kampung dulu, ya sudah kenapa tidak mencoba sendiri saja," terangnya.
"Di setiap saya jualan, saya selalu berdoa semoga Allah mengubah kesulitan saya, menyembuhkan anak saya, dan anak saya bisa kembali sekolah lagi," pintanya.
Eko Zahriansyah (41) sudah 17 tahun menghabiskan waktu untuk mengabdi sebagai satpam di SMA N 1 Pontianak. Selain menjaga keamanan lingkungan sekolah, pria yang akrab disapa Pak Eko ini juga bertugas sebagai pengatur arus lalulintas keluar masuk saat pagi hari dan pada waktu pulang sekolah.
SelengkapnyaEko Zahriansyah (41) sudah 17 tahun menghabiskan waktu untuk mengabdi sebagai satpam di SMA N 1 Pontianak. Selain menjaga keamanan lingkungan sekolah, pria yang akrab disapa Pak Eko ini juga bertugas sebagai pengatur arus lalulintas keluar masuk saat pagi hari dan pada waktu pulang sekolah.
"Bagi saya jadi satpam di SMANSA ini adalah sebuah warisan serta amanah dari bapak saya, dan harus dijalankan. Saya betah di sini, karena kerja di sini bukan beban buat saya, tapi salah satu tempat untuk mengisi waktu luang dengan hal yang berguna," katanya.
"Hidup di dunia itu tak selamanya, dan kita perlu banyak berbuat baik, untuk bekal nanti, Insya Allah semuanya berkah, asal ikhlas," tuturnya.
Zulfian Rahman (23) akrab disapa Ijul adalah lulusan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Ia sangat mencintai seni sejak kecil. Ia menyukai seni menulis tangan. Ia juga pernah mendesain seragam untuk Sea Games.
SelengkapnyaZulfian Rahman (23) akrab disapa Ijul adalah lulusan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Ia sangat mencintai seni sejak kecil. Ia menyukai seni menulis tangan. Ia juga pernah mendesain seragam untuk Sea Games.
Ia kini menjadi pengasuh komunitas Khatulistangan yang berdiri sejak awal Agustus 2015, di Kota Pontianak. “Dari kecil emang udah suka seni, kalau liat kertas atau dinding gak tahan kalau gak coret-coret. Seni itu asyik, seni itu tempat mencurahkan berbagai macam hal yang kita rasakan dalam wujud yang bernilai menurut saya," katanya.
Median Fratama (29) sejak duduk di bangku SMA gemar berbisnis. Ia menerima jasa cetak kertas melalui printer secara kecil-kecilan. Hingga kini, Med sudah memiliki dua jenis usaha yaitu membuka percetakan Panda Evo, dan rental mobil.
SelengkapnyaMedian Fratama (29) sejak duduk di bangku SMA gemar berbisnis. Ia menerima jasa cetak kertas melalui printer secara kecil-kecilan. Hingga kini, Med sudah memiliki dua jenis usaha yaitu membuka percetakan Panda Evo, dan rental mobil.
"Jangan cepat puas, dulu waktu awal-awal saya bisa cari uang, saya mulai ingin beli ini itu, malah buat saya merasakan namanya jaman babak belur kehidupan, uangnya habis gitu aja, tanpa ada manfaat,” ungkapnya sembari tertawa.
Menurut Median, salah satu cara untuk bisa mengatur semuanya dan merintis kembali usaha yang sempat jatuh, "Menikahlah, karena menikah merupakan separuh dari agama. Dan dari menikah hidup saya lebih bisa teratur, uangnya jadi jelas untuk siapa."
Purnamasari (67) telah 23 tahun membuka kantin di SMAN 1 Pontianak. Hal ini tentu membuat Bu Sari mendapatkan julukan 'penghuni tetap' di sekolah tersebut.
SelengkapnyaPurnamasari (67) telah 23 tahun membuka kantin di SMAN 1 Pontianak. Hal ini tentu membuat Bu Sari mendapatkan julukan 'penghuni tetap' di sekolah tersebut.
Dulu Bu Sari mengawali dagangannya hanya dengan berjualan tekwan, yang hingga saat ini mulai berkembang dengan berbagai macam menu, namun tetap tekwan yang merupakan kuliner asli Bangka Belitung dan Palembang ini, sebagai menu utamanya.
"Udah 23 tahun disini, dibilang penghuni abadi. Ini saya rintis sendiri dari awal, apalagi suami udah gak ada. Ya, jadinya ngisi waktu kosong dengan jualan, buka kantin di sekolah juga lebih nyaman, dagangan tetap habis," katanya.
Banyak moment direkam oleh Timbul Mujadi (61) melalui lensa kameranya. Fotografer senior Kalbar ini sudah turun ke lapangan sejak tahun 1985. Tak ayal, ia meraih penghargaan Life Time Achievement dari Pewarta Foto Indonesia (PFI) Pontianak melalui foto "Dari Barat Kalimantan".
SelengkapnyaBanyak moment direkam oleh Timbul Mujadi (61) melalui lensa kameranya. Fotografer senior Kalbar ini sudah turun ke lapangan sejak tahun 1985. Tak ayal, ia meraih penghargaan Life Time Achievement dari Pewarta Foto Indonesia (PFI) Pontianak melalui foto "Dari Barat Kalimantan".
"Pertama dulu waktu kerusuhan tahun 90 an dulu. Haduh mengerikan sekali, saya juga sampai hampir pingsan, karena sempat di kalungkan pedang tajam oleh oknum saat saya sedang motret. Tapi demi tugas, saya teruskan. Selesai itu saya berlari sekencang-kencangnya untuk menyelamatkan diri," katanya.
"Nah yang kedua, waktu Pak Jokowi datang ke Kalbar. Saya dengar Pak Presiden mau bersepeda bersama warga. Saya akhirnya turun dengan kamera, sepeda ontel, dan bercelana pendek, bahkan bersendal jepit. Eh, rupanya pak Presiden gak jadi sepedaan dan meninjau lokasi kebakaran pasar tengah. Saya pun mengayuh sepeda ontel ngejar mobil paspampres sampe keringatan pake sepeda tua itu," tuturnya.
Baru setahun hijrah dari Jakarta ke Pontianak, Nana Sasmita (53) melanjutkan perjuangannya mencari nafkah menjadi penjual kue ape' khas betawi. Nana bercerita, ia harus meninggalkan anak dan istrinya untuk mencari penghidupan lebih baik di Pontianak.
SelengkapnyaBaru setahun hijrah dari Jakarta ke Pontianak, Nana Sasmita (53) melanjutkan perjuangannya mencari nafkah menjadi penjual kue ape' khas betawi. Nana bercerita, ia harus meninggalkan anak dan istrinya untuk mencari penghidupan lebih baik di Pontianak.
"Anak istri saya tinggal di Jakarta. Di sana dulu saya jualan di Pasar Baru. Cuma pendapatannya kecil, banyak saingan. Di sini masih sedikit saingannya. Jadi bisa ngirim ke keluarga. Kalau di sana, haduh susah dapat uang," katanya.
"Di Pontianak asal mau kerja keras pasti dapat rezeki. Kalau di Jakarta udah kerja keras, dapatnya ya segitu-segitu aja," ungkapnya. Nana mengontrak satu rumah dan menginap bersama para pedagang keliling lainnya. Ia merasa kerasan di Kota ini. Selain ramah, orang Pontianak kata dia, selalu memberi tip's jika membeli sesuatu.
Jimmy (40) bergelut di dunia kecantikan dan salon sudah 20 tahun. Lulus SMA, ayah dua anak ini langsung hijrah ke Jakarta, untuk mencari pekerjaan. Dunia salon akhirnya dipilih menjadi jalan mata pencahariannya.
SelengkapnyaJimmy (40) bergelut di dunia kecantikan dan salon sudah 20 tahun. Lulus SMA, ayah dua anak ini langsung hijrah ke Jakarta, untuk mencari pekerjaan. Dunia salon akhirnya dipilih menjadi jalan mata pencahariannya.
"Pengalaman itu penting, karena itu bisa jadi modal kita untuk cari nafkah. Saya selalu berguru pada semua stylish salon, untuk menyerap ilmu mereka, dan saya aplikasikan ke salon yang saya dirikan sekarang ini," katanya.
"Selain jadi makeuper orang nikahan, saya juga buka penyewaan alat, kayak kursi, gebyok, dan dekorasi, semua bisa dipesan paketannya," katanya.
Purwantoro (19) meninggalkan tanah kayong di Kabupaten Kayong Utara, Kalbar demi meraih gelar sarjana di Kota Khatulistiwa Pontianak. Mahasiswa Fakultas MIPA Untan ini aktif dalam berbagai kegiatan kampus, terutama dalam hal sosial.
SelengkapnyaPurwantoro (19) meninggalkan tanah kayong di Kabupaten Kayong Utara, Kalbar demi meraih gelar sarjana di Kota Khatulistiwa Pontianak. Mahasiswa Fakultas MIPA Untan ini aktif dalam berbagai kegiatan kampus, terutama dalam hal sosial.
"Merantau itu ada enak ada juga enggak, disini kami berenam harus berdempetan, karena biaya hidup juga udah mahal, jauh lagi dari Kayong. Orang tua petani, tapi mereka mau aku ini bisa jadi sarjana, maka nya aku semangat kuliah juga aktif dalam kegiatan kampus, semua ku jalani untuk orang tuaku. Have a nice day, keep smile and take a pray," katanya.
Kendati sudah tak muda lagi, Burhanudin Harris (60) tetap setia di jalur aktivis. Dosen politik di Fisipol Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak yang bergelar doktor ini memang terbilang aktif dalam menyuarakan hak konsumen. Atas konsistensinya, ia didaulat menjadi Ketua Lembaga Pemberdayaan Konsumen dan Linkungan (LPKL) Kalimantan Barat, sebagai lembaga pendukung Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Provinsi ini.
SelengkapnyaKendati sudah tak muda lagi, Burhanudin Harris (60) tetap setia di jalur aktivis. Dosen politik di Fisipol Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak yang bergelar doktor ini memang terbilang aktif dalam menyuarakan hak konsumen. Atas konsistensinya, ia didaulat menjadi Ketua Lembaga Pemberdayaan Konsumen dan Linkungan (LPKL) Kalimantan Barat, sebagai lembaga pendukung Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Provinsi ini.
"Dulu awal-awal menikah 30 tahunan lalu, istri suka khawatir, karena saya banyak dicari orang. Dulu saya keras soal pembalakan liar hutan Kalimantan. Habis itu saya keras juga bersuara soal pelayanan konsumen yang terbilang buruk ditahun 90 hingga 2000an bahkan sampai sekarang. Tapi namanya berjalan dijalur benar, yakin saja Allah akan meridhoi," katanya.
"Kalau cerita bahaya dan dekat sama nyawa, ancaman itu sudah sering saya rasakan. Cuma memang Allah melindungi saya, karena mungkin niatan saya memang ikhlas untuk membantu dan menolong masyarakat," ungkapnya.
Syarif Rahmad Alqadri (25) biasa disapa Mettmo. Ia berkecimpung di dunia skateboard sejak tahun 2007. Setelah konsisten di dunianya, ia akhhirnya mampu keliling Indonesia hingga ke negara tetangga di Kuching, Sarawak – Malaysia. Ia mengikuti berbagai kompetisi dan membawa pulang hasil juara.
SelengkapnyaSyarif Rahmad Alqadri (25) biasa disapa Mettmo. Ia berkecimpung di dunia skateboard sejak tahun 2007. Setelah konsisten di dunianya, ia akhhirnya mampu keliling Indonesia hingga ke negara tetangga di Kuching, Sarawak – Malaysia. Ia mengikuti berbagai kompetisi dan membawa pulang hasil juara.
"Main skate itu asyik, sampai saya minta orangtua buat bantu saya bikin skatepark sendiri di belakang rumah. Skateboard Pontianak sendiri sudah diakui dipusat, namun Pemerintah Kota saja yang belum nih, kami harap bisa di pandang, dan membuat skateboard Pontianak lebih maju, terutama bila skatepark khusus telah di bangun oleh pemkot," kata Mettmo
Yudi Dharmawan (23), Ketua Paguyuban Beat Kalimantan Barat atau biasa disebut RBI West Borneo, berusaha mengubah pandangan buruk masyarakat terhadap klub motor. Ia dan komunitasnya membuat kegiatan-kegiatan positif.
SelengkapnyaYudi Dharmawan (23), Ketua Paguyuban Beat Kalimantan Barat atau biasa disebut RBI West Borneo, berusaha mengubah pandangan buruk masyarakat terhadap klub motor. Ia dan komunitasnya membuat kegiatan-kegiatan positif.
"Agenda kita banyak, terutama berbau sosial, karena kami ingin membuktikan, bahwa klub motor ini tidak bawa pengaruh buruk. Kami hanya sekumpulan orang pecinta beat, yang berkumpul untuk buat suatu kegiatan positif," ujar Yudi.
“Di masa muda ini, kalau tidak diisi dengan kegiatan positif bisa bahaya. Saya bersama kawan-kawan memang sudah komitmen untuk menjadi salah satu pelopor keselamatan berlalu lintas, dan juga menjadi bagian dari gerakan sosial untuk masyarakat,” tuturnya menambahkan.
Edwin Setiadi Raharja (25) lebih sering dipanggil Wing. Pria lulusan FKIP Universitas Tanjungpura ini memilih profesi musik dan menulis. Ia menjadi vokalis di salah satu band Indie yang sangat terkenal di Pontianak, Coffternoon.
SelengkapnyaEdwin Setiadi Raharja (25) lebih sering dipanggil Wing. Pria lulusan FKIP Universitas Tanjungpura ini memilih profesi musik dan menulis. Ia menjadi vokalis di salah satu band Indie yang sangat terkenal di Pontianak, Coffternoon.
Bersama Coffternoon, ia dan empat rekannya sudah melanglangbuana ke seantero Indonesia. Musik yang asyik, ciri khas anak muda, serta lirik yang menyentuh kehidupan utamanya yang berbicara soal hati dan perasaan kerap didengungkan disetiap lagu mereka.
"Jangan paksa orang untuk melakukan hal yang kau inginkan, seperti memaksa untuk mengenalmu, karena menciptakan karya untuk bangsa lebih mulia. Kalau karya kita bagus orang yang akan coba kenal kita, tanpa harus promosi," ungkapnya.
Martina (61) sudah punya 13 cucu. Warga Baning Kota Pontianak ini masih kuat membawa sayur hutan untuk dijual ke pasar. Tiap hari ia membawa umbut rotan, rebung bambu, pakis, dan sawi hutan di tas kulit kayu yang selalu digendognya. Nek Tina, begitu ia disapa, sudah 20 tahun membantu nafkah keluarga dengan cara ini.
SelengkapnyaMartina (61) sudah punya 13 cucu. Warga Baning Kota Pontianak ini masih kuat membawa sayur hutan untuk dijual ke pasar. Tiap hari ia membawa umbut rotan, rebung bambu, pakis, dan sawi hutan di tas kulit kayu yang selalu digendognya. Nek Tina, begitu ia disapa, sudah 20 tahun membantu nafkah keluarga dengan cara ini.
"Untungnya sih Rp 2-5 ribu/ikat sayuran. Cuma kan nenek jalan dari subuh sampe sore, jadilah dapat Rp 100-200 ribu. Uangnya nenek tabung untuk anak dan cucu, intinya untuk mereka sekolah," katanya.
Nek Tina memang terbilang sangat kuat berjalan kaki. Dalam sehari ia mampu berjalan hingga 10 kilometer, sembari membawa sayuran yang ditawarkannya dari satu rumah ke rumah lainnya. "Saya tu pengen orang-orang sehat, cerdas, makanya milih jualan sayur aja," ungkapnya.
Muhammad Jimmy (25) harus bekerja keras untuk menjemput rezeki. Ia menjadi pengamen jalanan di Kota Pontianak. Ada yang agak berbeda dengannya, karena lagu-lagu yang dinyanyikan bernuansa Arabian. Maklum, ia pernah nyantri di sebuah pesantren di Pulau Jawa.
SelengkapnyaMuhammad Jimmy (25) harus bekerja keras untuk menjemput rezeki. Ia menjadi pengamen jalanan di Kota Pontianak. Ada yang agak berbeda dengannya, karena lagu-lagu yang dinyanyikan bernuansa Arabian. Maklum, ia pernah nyantri di sebuah pesantren di Pulau Jawa.
Ia bercerita, lebih memilih pulang ke kampung halaman di Pontianak, sebab ibunya yang sudah lanjut usia membutuhkan dirinya untuk merawat sang Ibunda.
"Dulu sempat mondok di Jawa, tapi karena ibu tinggal sendiri dan udah 95 tahun usianya, jadinya saya pulang lalu setiap hari kegiatan saya ngamen, buat di tabung, rencananya saya pengen buka usaha warung kopi nanti," Kata Jimmy.
Vincencius Susanto (29) yang kerap disapa Jojon, sejak lulus dari bangku SMA memutuskan untuk merantau meninggalkan kampung halaman dan melamar sebagai koki di salah satu hotel berbintang di Kota Pontianak. Nasib baik menyertainya, dari menjadi koki, Jojon bisa menghasilkan uang, dan mulai menabung untuk mencicil motor. Selain itu Jojon juga berhasil menyelesaikan studinya di IKIP PGRI Pontianak dengan hasil jerih payahnya sendiri.
SelengkapnyaVincencius Susanto (29) yang kerap disapa Jojon, sejak lulus dari bangku SMA memutuskan untuk merantau meninggalkan kampung halaman dan melamar sebagai koki di salah satu hotel berbintang di Kota Pontianak. Nasib baik menyertainya, dari menjadi koki, Jojon bisa menghasilkan uang, dan mulai menabung untuk mencicil motor. Selain itu Jojon juga berhasil menyelesaikan studinya di IKIP PGRI Pontianak dengan hasil jerih payahnya sendiri.
"Saya bukan dari keluarga mampu, asal juga dari kampung, tapi bukan alasan untuk tidak bisa meraih kesuksesan, saya belajar banyak dari berbagai pengalaman yang saya dapat, gak banyak orang yang mau merintis sendiri dari awal, tapi saya mau jadi salah satu dari mereka," kata Jojon.
Bernyanyi menjadi hobi Sabirin (26). Sudah 13 tahun, pria asal Pontianak ini menjadi seniman jalanan. “Saye berjuang untuk keluarge, ya apapun saye kerjekan yang penting halal, dan saye selalu tampil beda tiap saye nyari rejeki ni,” kata Sabirin yang berdialek Melayu Pontianak.
SelengkapnyaBernyanyi menjadi hobi Sabirin (26). Sudah 13 tahun, pria asal Pontianak ini menjadi seniman jalanan. “Saye berjuang untuk keluarge, ya apapun saye kerjekan yang penting halal, dan saye selalu tampil beda tiap saye nyari rejeki ni,” kata Sabirin yang berdialek Melayu Pontianak.
Ada hal unik yang dapat dilihat dari cara Birin melantunkan lagu, dengan menenteng sound kecil serta menggunakan mini microfont yang tersambung ke gitar, ditambah lagi dengan harmonika yang dilingkarkannya di leher, Birin berhasil menghasilkan harmonisasi lagu yang sangat indah.
"Bersyukur, selama 13 tahun jadi pengamen hidup saya masih bisa berjalan, anak istri juga sehat, bisa ngasi orang tua, malu? Ah, gak masalah bagi saya,” jelasnya.
Usianya baru menginjak 12 tahun. Tapi Angga Saputra sudah harus bekerja. Tiap hari ia mengayuh sepeda berkeliling ke warung-warung kopi menawarkan jasa semir sepatu kepada sejumlah penikmat kopi dan pengunjung yang datang. Itu dilakukan selepas belajar di sekolah.
SelengkapnyaUsianya baru menginjak 12 tahun. Tapi Angga Saputra sudah harus bekerja. Tiap hari ia mengayuh sepeda berkeliling ke warung-warung kopi menawarkan jasa semir sepatu kepada sejumlah penikmat kopi dan pengunjung yang datang. Itu dilakukan selepas belajar di sekolah.
"Buat cari uang jajan sama ngasi emak, nabung juga buat beli sepeda baru, sepeda yang ini suka lepas rantainya,” kata Angga. Saat ini Angga sedang mengenyam pendidikan di salah satu Sekolah Dasar (SD) Negeri di Kota Pontianak, dan duduk di kelas 4.
"Adek masih kecil, kalau saya ndak kerja, beban emak sama bapak pasti makin nambah. Bangga bisa bantu orang tua, karena malu udah ndak ada. Aku nabung untuk nanti kuliah, mau jadi guru, kayak guru aku, suka aku kalau diajar guru itu, makanya pengen jadi guru,” ujarnya.
Pada awalnya Asep Sutrisna (56) punya hobi berkuda. Warga Batulayang, Kecamatan Pontianak Utara ini punya empat ekor kuda. Namun setahun belakangan, di sela mengurus bisnisnya, pengusaha konstruksi ini mulai menyukai bersepeda. Ia pun didaulat menjadi Dewan Penasehat tim sepeda loreng 12, yang berisikan masyarakat sipil dan Prajurit TNI dari Kodam XII Tanjungpura.
SelengkapnyaPada awalnya Asep Sutrisna (56) punya hobi berkuda. Warga Batulayang, Kecamatan Pontianak Utara ini punya empat ekor kuda. Namun setahun belakangan, di sela mengurus bisnisnya, pengusaha konstruksi ini mulai menyukai bersepeda. Ia pun didaulat menjadi Dewan Penasehat tim sepeda loreng 12, yang berisikan masyarakat sipil dan Prajurit TNI dari Kodam XII Tanjungpura.
"Saya memang senang berorganisasi. Utamanya yang anak muda. Tujuan sih cuma ingin mengajak mereka berolahraga, agar generasi Pontianak ini sehat-sehat semua. Kita sudah masuk MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), ya angkatan kerja kita (Indonesia), jangan kalah sama orang luar (Negara Lain)," katanya.
Muhammad Rizky berkeliling memanggul gerobak bakso Malang. Pria berusia 19 tahun ini telah merantau ke Kota Khatulistiwa untuk mengadu nasib bersama 9 orang temannya. Rizky mengaku hanya tamatan SMP. Tapi ia gigih untuk meraih sukses di tempat perantauan.
SelengkapnyaMuhammad Rizky berkeliling memanggul gerobak bakso Malang. Pria berusia 19 tahun ini telah merantau ke Kota Khatulistiwa untuk mengadu nasib bersama 9 orang temannya. Rizky mengaku hanya tamatan SMP. Tapi ia gigih untuk meraih sukses di tempat perantauan.
"Udah 5 bulan di sini, sama temen-temen ngontrak di Jalan Johar, ditinggal ayah udah dari 3 tahun, tapi aku tetap semangat, pantang nyerah, siapa tau nanti ketemu ayah terus dia bangga liat anak nya bisa cari uang sekarang," ujarnya.
Lalu untuk apa uangnya? "Buat bantu mama di kampung, mama kerja jadi petani di sana, sisanya buat makanlah di sini, saya yakin bisa sukses karena jualan bakso Malang," jelasnya.
Nazarudin biasa disapa Ajoy. Ia mulai membuka usaha pada usia 19 tahun. Lika-liku kehidupan yang kurang beruntung, tak membuatnya patah semangat dan terus berinisiatif berbisnis kecil-kecilan. Usaha pertama kali yang dirintisnya adalah membuka jasa cuci motor, laundry, bahkan cuci helm. Baginya untuk membuka usaha tersebut tak perlu modal besar seperti yang biasa dikatakan banyak orang.
SelengkapnyaNazarudin biasa disapa Ajoy. Ia mulai membuka usaha pada usia 19 tahun. Lika-liku kehidupan yang kurang beruntung, tak membuatnya patah semangat dan terus berinisiatif berbisnis kecil-kecilan. Usaha pertama kali yang dirintisnya adalah membuka jasa cuci motor, laundry, bahkan cuci helm. Baginya untuk membuka usaha tersebut tak perlu modal besar seperti yang biasa dikatakan banyak orang.
“Waktu itu saya liat banyak air mengalir di sekitar rumah, dari situ muncul ide buat ngebuka jasa cuci motor, lalu lanjut lagi laundry juga cuci helm, modalnya ga besar kok, Cuma asal tekun aja ngejalani nya” kata Ajoy
Lalu, sekarang ia kembali merintis usaha lain, yakni di bidang kuliner yang diberi nama Juragan Ayam Geprek. Awalnya ia hanya memiliki modal Rp 8 juta untuk membangun usahanya. Namun karena giatnya, akhirnya kini usaha yang di rintisnya bersama istri mampu berkembang lumayan pesat di era persaingan usaha saat ini.
Mukti Adiansyah baru berusia 17 tahun. Tapi ia sudah membuka jasa editing video dan menjadi seorang videografer. "Awalnya cuma hobi aja, terus fasilitas seada nya lah, sebenarnya asal kita bisa kreatif dan kerja rapi, fasilitas mewah bukan hal penunjang utama untuk bisa buat video bagus," ujarnya.
SelengkapnyaMukti Adiansyah baru berusia 17 tahun. Tapi ia sudah membuka jasa editing video dan menjadi seorang videografer. "Awalnya cuma hobi aja, terus fasilitas seada nya lah, sebenarnya asal kita bisa kreatif dan kerja rapi, fasilitas mewah bukan hal penunjang utama untuk bisa buat video bagus," ujarnya.
Anak bungsu dari dua bersaudara ini mengaku ingin bisa menjadi seorang yang mandiri sejak masih muda, meski orang tua berkecukupan. "Harta orang tua memang untuk anak, tapi anak juga harus tahu diri, karena gak selamanya hidup harus bergantung sama orang tua, apa lagi saya laki-laki, memang sudah kewajiban nya kelak untuk mencari nafkah buat keluarga," Jelas Mukti.
Herman Sujarwo(60) berhasil menemukan alat yang bisa mengubah gas dari arang menjadi energi untuk diubah lagi menjadi listrik. Ia menyebutnya alat gasifikasi. Penelitian Herman dilakukan sudah sejak 1987.
SelengkapnyaHerman Sujarwo(60) berhasil menemukan alat yang bisa mengubah gas dari arang menjadi energi untuk diubah lagi menjadi listrik. Ia menyebutnya alat gasifikasi. Penelitian Herman dilakukan sudah sejak 1987.
"Kita lakukan ujicoba sejak setahun terakhir di dusun Satak Kecamatan Sadaniang, Kabupaten Mempawah. Awalnya saya kaget, kok daerah ini dekat sama Pontianak, ya kira-kira 4 jamlah, tapi ada kampung yang tak ada listriknya. Akhirnya bersama sejumlah lembaga saya inisiasi membangun alat gasifikasi ini," ujarnya.
Saat ini, sudah 50 rumah yang teraliri listrik dari alat itu. Menurutnya daya listrik yang dibagikan juga kecil, rata-rata 10-25 watt/rumah. Hal ini diakibatkan baru ada dua alat generator sebagai pembangkit yang menggunakan arang yang menghasilkan gas sebagai bahan bakarnya.
"Udah 4 tahun begini, buat nambah uang jajan, dan bantu orang tua. Bapak dan Mamak udah tua, kerja juga serabutan. Ya saya kasian aja, makanya jalan satu-satunya ya jualan koran. Saya terinspirasi dengan pak Walikota Pontianak ( Sutarmidji), dulu beliau juga jadi loper koran, dan bisa jadi Pak Wali,” kata Rokhi Sanjaya (14).
Selengkapnya"Udah 4 tahun begini, buat nambah uang jajan, dan bantu orang tua. Bapak dan Mamak udah tua, kerja juga serabutan. Ya saya kasian aja, makanya jalan satu-satunya ya jualan koran. Saya terinspirasi dengan pak Walikota Pontianak ( Sutarmidji), dulu beliau juga jadi loper koran, dan bisa jadi Pak Wali,” kata Rokhi Sanjaya (14).
Rokhi tercatat sebagai siswa di SMPN 3 Pontianak. Ia tak malu dengan rekan-rekannya di salah satu sekolah favorit di Pontianak itu. Menurutnya, selama hal itu halal, dan bisa membantu orang tua, maka semua bisa dilakukan.
Mad Sodikin (45) asli Purbalingga. Ia baru tiga tahun berada di Pontianak menjadi pedagang tudung saji dari rotan. Kata dia, saat ini produk olahan kayu sudah sulit didapatkan, dan rotan merupakan salah satu pelestari alam.
SelengkapnyaMad Sodikin (45) asli Purbalingga. Ia baru tiga tahun berada di Pontianak menjadi pedagang tudung saji dari rotan. Kata dia, saat ini produk olahan kayu sudah sulit didapatkan, dan rotan merupakan salah satu pelestari alam.
"Dulu sering pindah-pindah Provinsi tapi sekarang udah males, menetap aja di sini, biasanya setahun sekali saya pulang ke Jawa buat ketemu anak istri,” ujarnya.
Dari Pukul 08.00 pagi, Pak Mad menopang jajakannya berkeliling dengan rute yang berbeda setiap hari tanpa menggunakan kendaraan. Bila merasa letih, ia akan beristirahat sejenak lalu kembali menjajakan dagangannya itu.
"Akses komunikasi (di sini) sulit, informasi juga hanya lewat TV. Daripada mereka nonton sinetron saja, lebih baik membaca, kemudian mendengarkan cerita dari bacaan itu dari kami tim relawan rumah kaca (Kapuas Membaca)," ungkap Siti Halijah (26).
Selengkapnya"Akses komunikasi (di sini) sulit, informasi juga hanya lewat TV. Daripada mereka nonton sinetron saja, lebih baik membaca, kemudian mendengarkan cerita dari bacaan itu dari kami tim relawan rumah kaca (Kapuas Membaca)," ungkap Siti Halijah (26).
Siti Halijah biasa dipanggil Jeng I' adalah relawan Rumah Kaca di Bunut Hilir, Kecamatan Bunut Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Sehari-hari ia bekerja sebagai penyiar radio komunitas di desa tersebut.
Di lokasi tepian sungai dan melewati akses air jika ingin ke desa lainnya, ia dan beberapa rekannya biasa menggunakan sampan motor untuk menuju desa. Arus kencang jika angin tak bersahabat kerap mereka lalui, demi membawa buku bacaan untuk memenuhi dahaga pengetahuan warga utamanya anak-anak.
"Biasanya kalau ndak ada uang, kami nebeng ( menumpang) program. Misalnya kalau ada program bidan desa, atau kesehatan yang makai sampan, kami ikut juga bawa buku ini. Biasa sih 500 - 1000 buku kami bawa dalam box besar," kisahnya.
"Di sana (Malaysia) kerjanya capek, gaji sih Ringgit tapi ndak sebanding. Kurang dihargai kita di sana. Saya dulu kerja kayu di sana, jadi tukang gesek (penggergaji), gajinya kecil, suka kena marah mandor, capeklah pokoknya, akhirnya saya putuskan pulang," kata Susanto (29).
Selengkapnya"Di sana (Malaysia) kerjanya capek, gaji sih Ringgit tapi ndak sebanding. Kurang dihargai kita di sana. Saya dulu kerja kayu di sana, jadi tukang gesek (penggergaji), gajinya kecil, suka kena marah mandor, capeklah pokoknya, akhirnya saya putuskan pulang," kata Susanto (29).
Selepas SMA, Susanto merantau ke Malaysia. Warga Meliau Kalbar ini kemudian pulang dan menikah. Ia akhirnya menjadi nelayan sungai, dan membeli sampan motor. Dari hasil mencari ikan dan memproduksinya menjadi ikan asin, ia sanggup meraup untung besar, jauh dari bekerja menjadi TKI di Malaysia.
"Saya itu paling patuh sama aturan adat. Kalau ada yang mau coba-coba curi ikan, pasang pukat di danau atau sungai, siap-siap berhadapan dengan saya dan hukum adat," katanya.
Ikut suami ke Kalimantan dan tinggal menetap bersama sub suku Dayak Iban, dilakukan Sopia (55) hampir 30 tahun. Wanita asal Jombang ini menjadi satu-satunya penenun kain Sidan (tenun ikat) di sub suku dayak Iban di kawasan dusun Meliau, desa Melemba, Kecamatan Batang Lupar, Kapuas Hulu Kalimantan Barat.
SelengkapnyaIkut suami ke Kalimantan dan tinggal menetap bersama sub suku Dayak Iban, dilakukan Sopia (55) hampir 30 tahun. Wanita asal Jombang ini menjadi satu-satunya penenun kain Sidan (tenun ikat) di sub suku dayak Iban di kawasan dusun Meliau, desa Melemba, Kecamatan Batang Lupar, Kapuas Hulu Kalimantan Barat.
"Sekarang orang sudah beralih bikin tas, topi dan dompet, serta tikar dari bambu, rotan dan kulit kayu. Soalnya mudah dijual, ketimbang ini kan benangnya beli dari Malaysia, terus bikinnya juga lama, minimal 2 bulan dan maksimal 4 bulanlah," katanya.
Sopia, memang terbilang ulet. Ia mengisi waktu luangnya selesai mengurus rumah tangga seperti memasak dan beres-beres rumah dengan menenun ikat khas dayak, serta membuat kue pesanan warga yang akan merayakan Natal atau idul Fitri, bahkan juga pesta adat.
Soal harga, kain tenun ikat yang dijual memang terbilang cukup tinggi. Berkisar Rp 350 ribu untuk kain kecil (ikat kepala) hingga Rp 1,5 juta untuk kain yang diatas 1 meter.
Merantau sejak lulus sekolah pelayaran sudah dijalani Fahmi Iqbal (21) sejak 3 tahun terakhir. Di usia yang masih sangat muda, ia meninggalkan Surabaya, untuk berkeliling Indonesia bersama perusahaan kapal kargo tempatnya bekerja.
SelengkapnyaMerantau sejak lulus sekolah pelayaran sudah dijalani Fahmi Iqbal (21) sejak 3 tahun terakhir. Di usia yang masih sangat muda, ia meninggalkan Surabaya, untuk berkeliling Indonesia bersama perusahaan kapal kargo tempatnya bekerja.
"Semua udah saya kerjakan mas, dari kuli angkut pelabuhan, pesuruh di atas kapal. Makian dan cacian makanan hari-hari. Intinya ya cuma kerja dapat gaji. Udah gajinya langsung saya kirim ke Ibu sama Bapak di Kampung," katanya.
Mulai sekolah pelayaran (setingkat SMA), Iqbal memang sudah merasakan sulitnya ekonomi. Ia harus berpeluh untuk mencari tambahan agar uang sekolahnya bisa lunas. "Kadang saya jualan kue dulu di Surabaya. Abis jualan kue malamnya jualan es dan kopi, nentengin termos. Tapi di situ saya belajar, nyari duit, dan sabar," katanya.
Siang bekerja sebagai buruh bangunan, dan malamnya membantu orang berjualan. Itulah yang dilakuman Mulyadi (36) sehari-hari. Warga asrama polisi Jalan Komyos Sudarso ini bisa ditemui di depan SMK 4 kawasan Jeruju Pontianak. Setiap malam Mul selalu membantu pemilik lapak cimol dan ketang goreng.
SelengkapnyaSiang bekerja sebagai buruh bangunan, dan malamnya membantu orang berjualan. Itulah yang dilakuman Mulyadi (36) sehari-hari. Warga asrama polisi Jalan Komyos Sudarso ini bisa ditemui di depan SMK 4 kawasan Jeruju Pontianak. Setiap malam Mul selalu membantu pemilik lapak cimol dan ketang goreng.
"Saya tinggal sama mamak, dan bantu-bantu keuangan keluarga juga. Hari-hari ya bertukang, kalau malam ya begini jualan. Kalau gak gitu, mana mau dapat uang," katanya.
Di kondisi yang serba sulit sekarang ini Mul harus berjibaku mengalahkan kemalasan. Baginya, waktu istirahat hanya tidur malam hari.
Berkelana ke negara tetangga yakni Brunei Darussalam dan Malaysia demi menjalankan perintah adat, telah dijalani Temenggung Adat Dayak Iban Kecamatan Batang Lupar Kapuas Hulu, M. Sumpit (75). Sejak belasan tahun lalu ia didaulat sebagai kepala Adat karena pengetahuan dan kearifannya.
SelengkapnyaBerkelana ke negara tetangga yakni Brunei Darussalam dan Malaysia demi menjalankan perintah adat, telah dijalani Temenggung Adat Dayak Iban Kecamatan Batang Lupar Kapuas Hulu, M. Sumpit (75). Sejak belasan tahun lalu ia didaulat sebagai kepala Adat karena pengetahuan dan kearifannya.
Menurut dia, saat ini adat istiadat sudah mulai tergerus oleh zaman. Berbeda dengan masyarakat Iban yang ada di Malaysia, yang didukung penuh oleh negara.
"Sekarang ini, hukum adat, menjaga alam, dan hidup dengan ciptaan Tuhan sudah mulai berkurang. Banyak lahan ditimpa sama perusahaan. Banyak juga orang Iban yang kurang paham soal adat istiadatnya,"katanya.
Potensi wisata Kalimantan Barat ternyata jumlahnya ribuan, namun belum tereksplor dengan baik. Atas alasan itu, Jejaring Wisata-Jewita Kalimantan Barat hadir menjawab ketimpangan informasi tentang keindahan dan kekayaan alam Kalbar.
SelengkapnyaPotensi wisata Kalimantan Barat ternyata jumlahnya ribuan, namun belum tereksplor dengan baik. Atas alasan itu, Jejaring Wisata-Jewita Kalimantan Barat hadir menjawab ketimpangan informasi tentang keindahan dan kekayaan alam Kalbar.
Dedi Khanza (26), memotori Jewita sejak awal tahun 2016 untuk promosi wisata. Salah satu caranya dengan mengadakan lomba swafoto potensi alam, budaya dan wisata yang ada di Kalbar.
Jewita berencana menghimpun sejumlah blogger, videographer, hingga seniman dan pecinta alam untuk target Januari nanti, yakni mengadakan pesona wisata 2017 Kalbar.
"Jadi nanti di pesona wisata itu ada foto, video wisata, blog wisata, dan seminar wisata. Yang melibatkan semua pihak. Tujuannya semata untuk ikut berperan membangun kesadaran wisata, serta mengeksplore tempat baru yang belum terjamah," katanya.
Semua berubah ketika istri yang sangat dikasihi meninggal dunia. Sardikin Ali (36) harus menjadi Ayah sekaligus Ibu bagi buah cintanya Myeshia yang saat ini berumur 8 tahun.
SelengkapnyaSemua berubah ketika istri yang sangat dikasihi meninggal dunia. Sardikin Ali (36) harus menjadi Ayah sekaligus Ibu bagi buah cintanya Myeshia yang saat ini berumur 8 tahun.
Sepeninggal istrinya 30 November 2013 lalu, Dikin berjibaku mencari nafkah serta menjaga anak. Tak jarang ia harus mengorbankan waktunya bekerja dengan meminta izin kepada atasan di kantornya agar bisa masuk petang hari hingga malam, demi menemani anaknya yang masih sangat butuh perhatian.
"Syukurnya bisa bagi waktu kantor dan pekerjaan," katanya. Ia sehari-hari bekerja sebagai teknisi multimedia di salah satu Perusahaan di Pontianak.
Masih ingat Tamiya, mobil mainan yang hits tahun 90'an? Bagi Ferdi Tamadi (26) mainan itu adalah kesenangannya. Ia mengoleksi mainan tersebut dan sering nongkrong bareng sesama penyuka tamiya.
SelengkapnyaMasih ingat Tamiya, mobil mainan yang hits tahun 90'an? Bagi Ferdi Tamadi (26) mainan itu adalah kesenangannya. Ia mengoleksi mainan tersebut dan sering nongkrong bareng sesama penyuka tamiya.
Meski tidak bergabung dalam komunitas Tamiya di Pontianak, namun Ferdi tetap eksis bersama rekan-rekannya penyuka mainan itu. Kadang mereka kongkow bersama hanya untuk bertukar informasi tentang persoalan mainannya yang berasal dari Jepang itu, bahkan persoalan pribadi.
"Lewat mainan kita bisa sama-sama tukar pengalaman, saling membantu, pokoknya positiflah. Itu kenapa aku mau sampai sekarang nyimpan mainan ini," katanya.
Lulus kuliah Arnold Iskandar (27) memulai karir dengan bekerja di perusahaan kelapa sawit. Namun itu tak lama, karena ia berhenti dan melihat peluang usaha menjual barang bekas branded sebagai mata pencaharian baru.
SelengkapnyaLulus kuliah Arnold Iskandar (27) memulai karir dengan bekerja di perusahaan kelapa sawit. Namun itu tak lama, karena ia berhenti dan melihat peluang usaha menjual barang bekas branded sebagai mata pencaharian baru.
Tapi lagi-lagi ia beralih setelah melihat peluang lebih besar yakni bisnis kuliner, roti bakar. "Aku bersama kawan buka uniqli kitchen dengan pola sewa tennant di warkop," katanya.
Ia membangun konsep usaha tak mengambil untung banyak. Arnold percaya rejeki tidak bisa dihitung dengan matematika. Karena menurutnya, asal mau berusaha, dan berdoa, sukses menghampiri. "Anak muda Pontianak walau udah sarjana, ayo dong jadi enterpreuner. Berkah juga kok," ujarnya.
Monika Rosmimi (21) sempat mewakili Kalbar menjadi Duta Wisata di ajang nasional yang diselenggarakan di Jayapura Papua beberapa pekan lalu. Mahasiswa Farmasi Untan Pontianak ini bangga bisa mewakili Kalbar.
SelengkapnyaMonika Rosmimi (21) sempat mewakili Kalbar menjadi Duta Wisata di ajang nasional yang diselenggarakan di Jayapura Papua beberapa pekan lalu. Mahasiswa Farmasi Untan Pontianak ini bangga bisa mewakili Kalbar.
"Kita punya air terjun, arung jeram yang sangat banyak, bukit yang sangat indah, pantai, dan lainnya. Cuma memang kurang terkoordinir dengan baik, dan infrastruktur menuju kesana juga kurang baik, lagipula agak mahal. Lewat ajang ini, saya berkesempatan untuk menyuarakan itu ke publik," katanya.
Monika yang bercita-cita mengambil spesialisasi Apoteker selepas mendapatkan Sarjana Farmasi ini berharap bisa menyumbangkan segala tenaganya bagi pariwisata Kalbar.
Sepeninggal suami tercinta pada 3 Desember 2009, Eni Susinawati (36) harus menjadi tulang punggung keluarga. Suami terkasihnya Brigadir Polisi (Anumerta) Triana Wirahmana, menghembuskan nafas terakhir karena mengidap penyakit dalam yang dideritanya sejak lama.
SelengkapnyaSepeninggal suami tercinta pada 3 Desember 2009, Eni Susinawati (36) harus menjadi tulang punggung keluarga. Suami terkasihnya Brigadir Polisi (Anumerta) Triana Wirahmana, menghembuskan nafas terakhir karena mengidap penyakit dalam yang dideritanya sejak lama.
Kendati begitu, Eni tak patah semangat. Ia berusaha keras menjadi orang tua tunggal bagi kedua anaknya. Ia kemudian membuka layanan kredit bagi setiap orang yang ingin mendapatkan kursi baru, atau teralis dan canopy rumah.
"Ide ini muncul dari kebiasaan juga. Biasakan ibu-ibu kalau mau hari raya modalnya kurang ya minjam. Ya saya coba bantu lewat kredit, cuma bukan seperti Rentenir ya. Karena saya menyediakan dulu biasanya barangnya, baru mereka bisa pilih," katanya.
Mendidik adalah jalan hidup yang dipilih Wahdiniah (25). Ia menjadi guru di SDN 34 Pontianak Kota. Kendati menjadi guru honor, namun Nia, sapaan akrabnya, tetap serius dalam mengajar.
SelengkapnyaMendidik adalah jalan hidup yang dipilih Wahdiniah (25). Ia menjadi guru di SDN 34 Pontianak Kota. Kendati menjadi guru honor, namun Nia, sapaan akrabnya, tetap serius dalam mengajar.
Selain mengajar, Nia juga membuka bimbingan belajar 'Ebi Dzafira', untuk mendekatkan pendidikan bagi anak-anak dilingkungan sekitar rumahnya. "Bimbel dan jasa les privat ini udah berdiri sebelum saya jadi guru honor. Niatnya emang dari dulu pengen mengajar saja," ujarnya.
Di tengah kesibukannya mengajar, Nia juga masih aktif berorganisasi. Ia didaulat menjadi Bendahara Sekretaris Jendral Forum Komunikasi Pemuda (Forkop) Kalimantan Barat.
Ifik Ganda Mana (21) terbilang mahasiswa yang sangat aktif. Ia menjadi anggota AIESEC (Association Internationale des Etudiants en Sciences Economiques et Commerciales) di Universitas Tanjungpura.
SelengkapnyaIfik Ganda Mana (21) terbilang mahasiswa yang sangat aktif. Ia menjadi anggota AIESEC (Association Internationale des Etudiants en Sciences Economiques et Commerciales) di Universitas Tanjungpura.
"Di situ saya belajar banyak tentang organisasi. Ketemu dengan orang asing, dengan peneliti," katanya. Kini, Ifik menjadi satu dari 15 finalis pria dalam ajang Duta HIV/AIDS Kalbar. Ia menyukai dunia ini karena bisa berbagi ilmu, berbagi komunikasi dengan sejumlah orang yang termarginalkan.
Baginya, tujuan hidup adalah untuk memberi pelayanan sosial. Ia bercita-cita menjadi seorang guru dan fasilitator bagi warga yang dimarginalkan.
Bekerja keras adalah prinsip Edo Herdian (24). Sudah 4 tahun ia jualan pulsa elektronik dengan cara keliling. Ia sebenarnya bekerja di perusahaan bidang teknik dan multimedia. Berjualan pulsa adalah kerja sampingan yang menjanjikan.
SelengkapnyaBekerja keras adalah prinsip Edo Herdian (24). Sudah 4 tahun ia jualan pulsa elektronik dengan cara keliling. Ia sebenarnya bekerja di perusahaan bidang teknik dan multimedia. Berjualan pulsa adalah kerja sampingan yang menjanjikan.
"Kalau pas abis makan atau abis sholat sebelum masuk kantor lagi kan bisa tuh jualan, modalnya cuma kertas, pulpen dan saldo di hp tentunya, udah bisa jualan. Asal mau saja, rezeki pasti mengalir," katanya.
Dari berjualan pulsa Edo mengaku bisa membiayai kuliah bahkan tambahan keuangan untuk rumah tangganya. "Kalau gaji bulanan kan untuk makan bulanan bang, nah inilah nambahnya. Makanya jangan malu, kan halal, itu jak sih kuncinya," ujarnya.
Merantau ke Pontianak dari Indramayu Jawa Barat memang tak pernah terpikirkan oleh Inez (20). Ini dilakukan karena Inez mengikuti Ayahnya yang bekerja di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat di salah satu Dinas milik Pemerintah.
SelengkapnyaMerantau ke Pontianak dari Indramayu Jawa Barat memang tak pernah terpikirkan oleh Inez (20). Ini dilakukan karena Inez mengikuti Ayahnya yang bekerja di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat di salah satu Dinas milik Pemerintah.
Mahasiswa semester pertengahan di Fakultas Pendidikan Kimia ini aktif berorganisasi. Saat ini, Inez menjadi satu dari 15 Finalis Duta HIV/AIDS Kalimantan Barat. Menurutnya, tergabungnya ia disitu, karena miris dengan kondisi orang dengan HIV/AIDS.
"Mereka dikucilkan, dijauhi, padahal banyak hal positif yang masih bisa digali dari mereka. Dan seharusnya yang harus kita perangi itu penyakitnya bukan orangnya," katanya.
Junaidi Wibowo (47) dikenal dengan nama Mak Jun. Dunia entertainment Kalimantan Barat pasti mengenalnya. Ia adalah seorang MC, penyanyi, dan konselor HIV/AIDS. Sehari-hari ia seorang PNS perawat jiwa di Rumah Sakit Jiwa Sungai Bangkong, Kota Pontianak, Propinsi Kalbar.
SelengkapnyaJunaidi Wibowo (47) dikenal dengan nama Mak Jun. Dunia entertainment Kalimantan Barat pasti mengenalnya. Ia adalah seorang MC, penyanyi, dan konselor HIV/AIDS. Sehari-hari ia seorang PNS perawat jiwa di Rumah Sakit Jiwa Sungai Bangkong, Kota Pontianak, Propinsi Kalbar.
"Kalau show itu kan biasa weekend, jadinya pas libur dan ndak terkendala kerja. Bagiku itu semua penting, karena saat jadi mc, penyanyi atau perawat, aku bisa menghibur dan melayani orang lain. Itu tujuan utama pekerjaan yang kugeluti ini," katanya.
Tak hanya di dunia seni ia berhasil. Jun juga kerap menjadi panutan di sejumlah komunitas, mulai dari komunitas anak muda, hingga komunitas waria. "Aku kan konselor HIV/AIDS. Nah ketika banyak komunitas maka di situ kesempatan untuk berbagi dan merangkul orang," katanya.
Abroorza A. Yusra (29) pernah belajar di pesantren dan bercita-cita menjadi penulis. Ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Jawa Barat.
SelengkapnyaAbroorza A. Yusra (29) pernah belajar di pesantren dan bercita-cita menjadi penulis. Ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Jawa Barat.
Kini cita-citanya sudah bisa diwujudkan. Rodzay, begitu ia biasa disapa, sudah melahirkan belasan buku, salah satunya adalah Crsytal Eye sebuah buku yang mengangkat kisah nyata tentang program pemberdayaan masyarakat melalui fotografi di Kecamatan Bunut Kabupaten Kapuas Hulu.
"Kalau cuma kerja, kerbau di sawah juga bekerja, dan kalau cuma makan, binatang di hutan juga makan. Kalimat-kalimat itu yang bikin aku tetap bertahan di jalur ini. Karena rezeki sudah diatur sama Tuhan," katanya.
Usianya Wawan Hermawan sudah tak muda lagi. Yakni 61 tahun. Tapi ia masih menyukai olahraga ekstrem dan hobi otomotif. Ia masih kerap mengoleksi dan mempreteli mesin motor besar. Tak ayal, hingga saat ini ia dikenal seantero Kalbar, di dunia otomotif.
SelengkapnyaUsianya Wawan Hermawan sudah tak muda lagi. Yakni 61 tahun. Tapi ia masih menyukai olahraga ekstrem dan hobi otomotif. Ia masih kerap mengoleksi dan mempreteli mesin motor besar. Tak ayal, hingga saat ini ia dikenal seantero Kalbar, di dunia otomotif.
"Otomotif itu ibarat istri. Dirawat, dijaga, disayang. Ya kalau hitung-hitungan memang tekor banyak, cuma udah hoby mau gimana. Tapi apa ya, ketika saya tekuni ada saja rezeki untuk ngoprek kendaraan-kendaraan ini," katanya terkekeh.
Warga Jalan Parit Haji Husin 2 ini memang sehari-hari bekerja sebagai konsultan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) di Kota Pontianak. "Kalau ninjau lapangan kan medannya berat, ya akhirnya bawa bigfoot atau offroad juga kan, ya sudah hobi ama pekerjaan nyatu, klop deh," katanya.
Egi, begitu ia disapa. Usianya baru 15 tahun. Sepeninggal ayahnya, ia menjadi tulang punggung bagi ibunya. Hanya memiliki ijazah SMP, membuat Egi tak berniat lagi untuk melanjutkan sekolah. Tentunya akibat alasan mencari nafkah.
SelengkapnyaEgi, begitu ia disapa. Usianya baru 15 tahun. Sepeninggal ayahnya, ia menjadi tulang punggung bagi ibunya. Hanya memiliki ijazah SMP, membuat Egi tak berniat lagi untuk melanjutkan sekolah. Tentunya akibat alasan mencari nafkah.
Kini Egi menjadi juru parkir di pasar Sungai Pinyuh. "Penghasilan lumayanlah bang, UMR lah kata orang sekolah. Intinya sih biar kasi mamak untuk makan jak bang, kan kami tinggal berdua aja," katanya. Ia juga terkadang mengamen.
Masuk SMKN 4 Pontianak memang menjadi cita-cita Meliani (18) sejak awal. Meski jurusan Teknik Elektro jarang yang ditekuni seorang siswi. Warga Kom Yos Sudarso Pontianak Barat yang duduk di bangku kelas 3 selalu enjoy dengan bidang itu.
SelengkapnyaMasuk SMKN 4 Pontianak memang menjadi cita-cita Meliani (18) sejak awal. Meski jurusan Teknik Elektro jarang yang ditekuni seorang siswi. Warga Kom Yos Sudarso Pontianak Barat yang duduk di bangku kelas 3 selalu enjoy dengan bidang itu.
Ia ingin selepas kerja membantu orang tua. Hal itu hendak dilakukan mengingat peluh orang tuanya yang bekerja sebagai pekerja (tukang) bangunan, yang pendapatannya tak menentu. "Kuliah kan mahal, ya kalau ndak dapat beasiswa, Meli cari kerja aja dulu. Apalagi elektro kan masih gampang cari kerja bang," katanya.
"Kalau bicara pahlawan, bagi saya, pahlawan itu guru saya dulu, pahlawan tanpa tanda jasa. Beliau-beliau mengajarkan saya kesabaran, ketekunan, seperti yang saya lakukan kepada anak-anak murid saya yang masih kecil-kecil ini. Begitupula dengan orang tua, mereka mengajarkan saya tentang hidup, hingga saya menjadi orang tua juga sekarang ini," kata Eka Rini (35).
Selengkapnya"Kalau bicara pahlawan, bagi saya, pahlawan itu guru saya dulu, pahlawan tanpa tanda jasa. Beliau-beliau mengajarkan saya kesabaran, ketekunan, seperti yang saya lakukan kepada anak-anak murid saya yang masih kecil-kecil ini. Begitupula dengan orang tua, mereka mengajarkan saya tentang hidup, hingga saya menjadi orang tua juga sekarang ini," kata Eka Rini (35).
Eka adalah Kepala TK Islam Mutiara Bunda di Gang Jambi Jalan P. Natakusuma, Pontianak Kota. Di TK, anak didik selain diajarkan nilai keIslaman, juga diajarkan menghargai perbedaan, pandangan, dan juga menghargai pahlawan serta arti perjuangan. Menurutnya, itu dilakukan untuk menumbuhkembangkan minat anak terhadap nilai-nilai kebangsaan dan patriotisme.
Merantau sejak umur 4 tahun dari Jawa Barat ke Pontianak, tak membuat Hamsani (47), lupa akan kampung halaman. Warga Jalan Karya Kotabaru, tepatnya di komplek Dina Citra ini, sejak 25 tahun lalu telah membangun Sanggar seni dan budaya Sunda di Pontianak. Sanggar itu diberi nama Hanniy Sport.
SelengkapnyaMerantau sejak umur 4 tahun dari Jawa Barat ke Pontianak, tak membuat Hamsani (47), lupa akan kampung halaman. Warga Jalan Karya Kotabaru, tepatnya di komplek Dina Citra ini, sejak 25 tahun lalu telah membangun Sanggar seni dan budaya Sunda di Pontianak. Sanggar itu diberi nama Hanniy Sport.
"Sanggar ini saya bangun untuk lebih mendekatkan adat dan budaya, kepada masyarakat dan generasi muda. Hal itu terbukti dengan banyaknya minat anak muda saat ini, baik keturunan sunda asli, maupun yang bukan. Menurut mereka, di sanggar ini mereka bisa belajar musik, tarian serta adat istiadat sunda, yang mulai tergerus zaman," katanya.
Selain melestarikan adat dan budaya, Kang Sani juga tak melepaskan hobinya terhadap sepeda motor vespa. Motor tua yang legenda ini menjadikan dirinya lebih dekat dengan masyarakat dan mengembangkan komunitas.
Airani Elizabeth. M (25) memang bercita-cita menjadi penyanyi. Ia pun kerap mengisi sejumlah posisi di paduan suara, baik gereja maupun di beberapa acara lainnya. Namun, cita-citanya itu harus dikompromikan dengan tuntutan kerja.
SelengkapnyaAirani Elizabeth. M (25) memang bercita-cita menjadi penyanyi. Ia pun kerap mengisi sejumlah posisi di paduan suara, baik gereja maupun di beberapa acara lainnya. Namun, cita-citanya itu harus dikompromikan dengan tuntutan kerja.
Lulusan Teknik Informatika Universitas Tanjungpura Pontianak ia bergabung ke tim multimedia dan administrasi di salah satu perusahaan TV kabel skala lokal di Sungai Pinyuh.
"Aku suka tantangan, dari kecil juga begitu. Jadi waktu kuliah jumlah ceweknya lebih dikit dari cowok. Ya fine aja, malah aku merasakan bahwa cewek juga bisa berkarya di dunia ini. Ya kayak beberapa software yang pernah aku bikin itu," ceritanya.
Pengalaman waktu bertugas di Timor Timur (sekarang Timor Leste) puluhan tahun sangat membekas di diri Pelda Harjo (50).
SelengkapnyaPengalaman waktu bertugas di Timor Timur (sekarang Timor Leste) puluhan tahun sangat membekas di diri Pelda Harjo (50).
Pengalaman ini bukan pengalaman tempur, melainkan sumbangsihnya dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Saat itu selepas bertugas di kesatuannya ia mengajar.
Saat ini Pelda Harjo yang bertugas di Koramil 03 Batang Lupar Kabupaten Kapuas Hulu dan melanjutkan mengajar. Bahkan di dua sekolah, yakni SDN 15 Manggin, dan SDN 03 Kapar Kecamatan Batang Lupar.
"Di TNI kan kita juga belajar, soal negara soal wilayah, hidup bermasyarakat, yang semuanya itu serupa dengan mata pelajaran yang diajarkan kepada anak sekolah," katanya.
Nek Saniah (60) sudah tua. Ia setiap hari berjualan gorengan dan aneka minuman. Sapaan ramah dan pelayanan yang cukup baik, membuat setiap pelanggan betah berlama-lama di warung ini. Namun memang, karena kondisi yang sudah lanjut, Nek Saniah pun dibantu oleh anaknya, sedangkan dirinya memang lebih banyak menjaga cucu.
SelengkapnyaNek Saniah (60) sudah tua. Ia setiap hari berjualan gorengan dan aneka minuman. Sapaan ramah dan pelayanan yang cukup baik, membuat setiap pelanggan betah berlama-lama di warung ini. Namun memang, karena kondisi yang sudah lanjut, Nek Saniah pun dibantu oleh anaknya, sedangkan dirinya memang lebih banyak menjaga cucu.
"Ya ndak mampu nenek kalau semua, untung ada anak yang bantu," kisahnya. Warga Putussibau Selatan ini memang cukup dikenal di wilayahnya. Selain sudah lama berdagang, Nek Saniah juga memiliki warung yang berdiri lebih dulu dari sejumlah warung lainnya.
Merantau sepertinya menjadi jalan hidup Oceng (37) warga Putussibau Kalimantan Barat ini. Memulai merantau ke Sumatera mulai dari Batam, Pekanbaru, hingga Medan, Kisaran, bahkan ke Pontianak dan akhirnya Putussibau. Semua untuk mencari rejeki.
SelengkapnyaMerantau sepertinya menjadi jalan hidup Oceng (37) warga Putussibau Kalimantan Barat ini. Memulai merantau ke Sumatera mulai dari Batam, Pekanbaru, hingga Medan, Kisaran, bahkan ke Pontianak dan akhirnya Putussibau. Semua untuk mencari rejeki.
"Dulu jualan kelontongan, jualan gorden, nyales gitulah jalan kaki. Capek juga, makanya saya merantau ke putussibau ini, ya jualan ini lebih enak," katanya.
Saat ini, Oceng berjualan cireng dan telur goreng untuk menopang kebutuhan rumah tangga. Kini ia mengaku bisa menabung, untuk pulang ke kampung halamannya setahun sekali di Cimahi Jawa Barat.
Punya keterbatasan fisik tak membuat Heri (36) patah semangat untuk berprestasi di dunia olahraga. Ini dibuktikan dengan raihan 2 emas dan 1 perak cabang renang pada Pekan Paralimpic Nasional (Peparnas) Jawa Barat 2016.
SelengkapnyaPunya keterbatasan fisik tak membuat Heri (36) patah semangat untuk berprestasi di dunia olahraga. Ini dibuktikan dengan raihan 2 emas dan 1 perak cabang renang pada Pekan Paralimpic Nasional (Peparnas) Jawa Barat 2016.
Atlet renang National Paralimpic Comitte (NPC) Kalbar yang rutin berprestasi bagi Kalbar tidak hanya di tingkat nasional namun di kancah internasional.
“Saya senang sekali raihan yang saya dapatkan bisa meningkatkan prestasi Kalbar, saya juga cukup bangga bisa memecahkan rekor Asean Para Games 2015 di nomor 100 meter gaya bebas pada Peparnas kemarin” katanya.
Kurnia Irawan (32) mengawinkan hobi naik gunung dan fotografi. Yoyon, begitu ia biasa disapa, cukup terkenal di kalangan pecinta seni dan travelling di Kalbar. Warga Sungai Jawi Pontianak aktif di dunia pecinta alam sejak kuliah di Yogyakarta.
SelengkapnyaKurnia Irawan (32) mengawinkan hobi naik gunung dan fotografi. Yoyon, begitu ia biasa disapa, cukup terkenal di kalangan pecinta seni dan travelling di Kalbar. Warga Sungai Jawi Pontianak aktif di dunia pecinta alam sejak kuliah di Yogyakarta.
"Aku kadang suka ke pelosok pedalaman, dan nemu kearifan lokal serta ekowisata alam. Nah dari situ, banyak foto dan cerita yang aku dokumentasikan. Eh gak nyangka juga banyak majalah maskapai yang minta, jadi aku sekarang selain jalan-jalan juga ngisi artikel dan foto di sejumlah majalah penerbangan," katanya.
Hidup yang dijalani Ambrosius (18) cukup berat. Sejak kecil ia ditempa dengan hidup yang keras. Di kampungnya, Darit Kabupaten Landak, ia menjadi kuli angkut buah sawit di perkebunan kelapa sawit. Bapaknya sakit, sedang ibunya buruh perkebunan.
SelengkapnyaHidup yang dijalani Ambrosius (18) cukup berat. Sejak kecil ia ditempa dengan hidup yang keras. Di kampungnya, Darit Kabupaten Landak, ia menjadi kuli angkut buah sawit di perkebunan kelapa sawit. Bapaknya sakit, sedang ibunya buruh perkebunan.
Usia 10 tahun, Sius hijrah ke Pontianak. Ia bekerja dari toko ke toko, dan sudah biasa makan sekali sehari. Namun ia tak menyerah dan terus berusaha. Kini ia bekerja sebagai tenaga bantu angkat galon di perusahaan air minum isi ulang.
"Gajinya di sini lumayan. Kukirim ke mamak di kampung bang. Sisanya untuk aku makan dan bayar kos," katanya. Ia sudah tak lagi bisa berpikir tentang pendidikan, karena tanggung jawab keluarga ada padanya.
Eka (29) setiap hari berjualan jamu gendong. Ia berusaha membantu keuangan keluarga. Ia baru tiga tahun bermukim di Pontianak. Ia dan suami beserta tiga anaknya, merantau mencari peruntungan ke Kota Khatulistiwa ini karena lapangan pekerjaan di Jawa makin sempit.
SelengkapnyaEka (29) setiap hari berjualan jamu gendong. Ia berusaha membantu keuangan keluarga. Ia baru tiga tahun bermukim di Pontianak. Ia dan suami beserta tiga anaknya, merantau mencari peruntungan ke Kota Khatulistiwa ini karena lapangan pekerjaan di Jawa makin sempit.
Eka mengaku, dalam sehari ia bisa meraup laba bersih hingga Rp 150.000. "Ya lumayan mas bantu-bantu suami. Lagipula saya kan jalan gak jauh dari rumah dekat pelabuhan, paling jauh di sekitaran mall Jalan Jendral Urip dan Antasari," ujarnya.
Selain berjualan jamu, Eka juga terkadang berjualan kue khas Pontianak dan Jawa yang pastinya ia bawa ketika berdagang keliling.
Banyak anak muda Pontianak yang meninggalkan pekerjaan kantoran beralih membuka usaha sendiri. Satria Jaya (34) adalah salah satunya. Warga Jalan Dr. Wahidi kawasan Sepakat Pontianak ini mula-mula bekerja sebagai marketing kredit perumahan di salah satu bank BUMN, kini ia berbisnis kue tradisional jajanan.
SelengkapnyaBanyak anak muda Pontianak yang meninggalkan pekerjaan kantoran beralih membuka usaha sendiri. Satria Jaya (34) adalah salah satunya. Warga Jalan Dr. Wahidi kawasan Sepakat Pontianak ini mula-mula bekerja sebagai marketing kredit perumahan di salah satu bank BUMN, kini ia berbisnis kue tradisional jajanan.
Setelah dirasa usahanya berkembang, dengan modal Rp 5 juta ia berinisiatif membangun bisnis baru yakni berjualan parfum isi ulang dan laundry pakaian serta karpet.
Sampai saat ini ia mencoba menangani sendiri pekerjaan semua. "Ya saya yang nyuci, setrika dan jualan parfum ini seorang diri. Kalau istri masih fokus jualan kue di Danau Sentarum. Semua kalau diniatkan dan dikerjakan baik, pasti hasilnya juga baik," katanya.
Sejak kecil menyukai satwa utamanya hewan anjing, ternyata mengantarkan Bripda Muhammad Ari (22), menjadi polisi satwa. Satuannya lebih dikenal dengan K-9 Police Polda Kalimantan Barat.
SelengkapnyaSejak kecil menyukai satwa utamanya hewan anjing, ternyata mengantarkan Bripda Muhammad Ari (22), menjadi polisi satwa. Satuannya lebih dikenal dengan K-9 Police Polda Kalimantan Barat.
Selain menyukai satwa, ia juga kerap meraih prestasi di dunia modelling, salah satunya menjadi Bujang Dare Pontianak tahun 2011 dan baru-baru ini menjadi Duta Wisata Kalbar 2016 yang akan berlaga di Jayapura pada akhir November mendatang.
"Komandan mendukung, karena selain bawa nama daerah, nama kesatuan juga akan bangga. Apalagi mewakili Kalbar di tingkat nasional,"katanya.
Berhenti dari pekerjaan sebagai Internal Audit di salah satu perusahaan sejak 2010 lalu, menjadikan langkah besar bagi Dwi Wahyudi (34). Ia kemudian memutuskan membangun warga, membangun desa dan ekonomi kerakyatan, yang dimulai lewat teknologi.
SelengkapnyaBerhenti dari pekerjaan sebagai Internal Audit di salah satu perusahaan sejak 2010 lalu, menjadikan langkah besar bagi Dwi Wahyudi (34). Ia kemudian memutuskan membangun warga, membangun desa dan ekonomi kerakyatan, yang dimulai lewat teknologi.
"Jadi sejak jadi blogger saya melihat potensi desa di Kubu Raya cukup besar, cuma tidak dimaksimalkan. Ia lalu tergerak untuk membantu pihak desa dengan segala kemampuan yang dimiliki, dan akhirnya di rumah saya juga terpilih menjadi salah satu lokasi Kampung UKM Digital di Kalbar dengan nama TerasPontianak.Com
Theofillus Deodatus (34) pernah memperoleh gaji Rp10 juta di posisi desainer grafis audio visual. Namun, gaji besar tak membuatnya betah. Ia memilih mandiri menjadi freelancer desainer grafis.
SelengkapnyaTheofillus Deodatus (34) pernah memperoleh gaji Rp10 juta di posisi desainer grafis audio visual. Namun, gaji besar tak membuatnya betah. Ia memilih mandiri menjadi freelancer desainer grafis.
Karya-karyanya mulai dari ilustrator kartun, merancang poster sejumlah kegiatan bahkan bermain alat musik pukul, asli Kalimantan yakni Kenong dan Ketobong. "Bagiku seni itu bebas. Ketika bebas mengekspresikannya, maka kita bebas pula mendapatkan rasa dari seni itu. Kalau kerja di perusahaan aku gak sebebas sekarang," kisahnya.
Sejak 5 tahun belakangan, Theo didaulat sebagai desainer poster Aksi Puasa Pembangunan Katedral se Kalimantan. Dari situ, namanya cukup dikenal di bidang desain dan seni musik tradisional.
Margareta (40) menjadi tenaga penyuluh pertanian di Dinas Pertanian, Kota Pontianak. Ia punya mimpi warga Kalbar bisa memproduksi beras sendiri. Selama ini beras banyak didatangkan dari jawa.
SelengkapnyaMargareta (40) menjadi tenaga penyuluh pertanian di Dinas Pertanian, Kota Pontianak. Ia punya mimpi warga Kalbar bisa memproduksi beras sendiri. Selama ini beras banyak didatangkan dari jawa.
"Bedanya beras di Kalbar itu bisa dihasilkan juga dari tanah perbukitan, dengan lahan berpindah juga ada. Itu yang saya lihat sehari-hari dari petani, dan bahkan saya belajar dari mereka soal beras yang baik kayak mana," katanya.
Beras di daerah Kalbar juga banyak, namun memang rasanya dan ukurannya beda dengan beras dari jawa. "Beras kampung itu lebih berlemak, dan lebih bergizi. Kendati kecil tapi tidak pakai pengawet, beda dengan beras dari luar," terangnya. Ia berharap beras lokal bisa terus ditingkatkan produksinya.
Peluang usaha bisa datang dari mana saja. Dwi Ruzyanti (32) bersama suami melihat peluang usaha dari keluhan para tetangga yang kesulitan mendapatkan bahan-bahan dapur. Ia pun akhirnya membuka usaha Belanje Dapok.
SelengkapnyaPeluang usaha bisa datang dari mana saja. Dwi Ruzyanti (32) bersama suami melihat peluang usaha dari keluhan para tetangga yang kesulitan mendapatkan bahan-bahan dapur. Ia pun akhirnya membuka usaha Belanje Dapok.
"Ini belanja delivery gitu sesuai pesanan via pesan bbm, medsos ataupun sms dan WA," katanya. Kendati belum setahun, usaha ini sudah memiliki puluhan pelanggan.
Selain mengurus usaha ini, warga Jalan Parit Haji Husin 2 (Paris 2) Pontianak ini juga mengurus rumah tangga dan bekerja di perusahaan alat berat. Saat ini ia punya tiga orang yang bertugas mengantar pesanan ke pelanggan.
Benediktus Afri Firnando (18) memang pernah ketinggalan kelas. Namun siswa kelas 2 SMA Don Bosco Kota Sanggau, Kalbar ini tidak berhenti belajar dan terus mengejar cita-citanya. Ia bergabung dengan Sanggar Jurong'k.
SelengkapnyaBenediktus Afri Firnando (18) memang pernah ketinggalan kelas. Namun siswa kelas 2 SMA Don Bosco Kota Sanggau, Kalbar ini tidak berhenti belajar dan terus mengejar cita-citanya. Ia bergabung dengan Sanggar Jurong'k.
Di sanggar, Beny-panggilan akrabnya-didaulat untuk memegang sejumlah posisi, baik menjadi penari adat, juga bermain gendang. "Aku memang full di seni bang. Ya memang orangtua pun mendukung penuh untuk seni. Kalau soal tinggal kelas itu cambukan untuk lebih maju lagi," katanya.
Deny Farid Yusman adalah sarjana sains terapan bidang kuliner. Ia pernah berkarir menjadi Head Chef di sejumlah hotel berbintang. Pria asal Yogyakarta yang bermukim di Pontianak sejak 2008 ini lebih memilih jalur batik dan etnisitas sebagai jalan hidupnya saat ini.
SelengkapnyaDeny Farid Yusman adalah sarjana sains terapan bidang kuliner. Ia pernah berkarir menjadi Head Chef di sejumlah hotel berbintang. Pria asal Yogyakarta yang bermukim di Pontianak sejak 2008 ini lebih memilih jalur batik dan etnisitas sebagai jalan hidupnya saat ini.
"Saya jatuh cinta sama batik dan budaya Dayak. Makanya saya ke Pontianak untuk lebih menekuni batik tulis bermotif asli Dayak. Sejak 2008 saya bersama teman-teman mendirikan perkumpulan, namanya Usukamang Production, yang isinya seniman-senimankontemporer, lukis, pahat, tari, dan lain-lain, yang juga ada pecinta batik," jelasnya.
Louisa Grace Dea (21) memang tidak melanjutkan kuliah. Namun ia tak berhenti belajar. Ia mengasah keterampilan menata rias kulit dan wajah sendiri. Ia pun kini bekerja di salah satu stasiun televisi lokal di Pontianak untuk menjadi penata rias.
SelengkapnyaLouisa Grace Dea (21) memang tidak melanjutkan kuliah. Namun ia tak berhenti belajar. Ia mengasah keterampilan menata rias kulit dan wajah sendiri. Ia pun kini bekerja di salah satu stasiun televisi lokal di Pontianak untuk menjadi penata rias.
"Senang di sini bang, aku sering megang wajah pejabat untuk dirias, yang selama ini cuma diliat di koran atau nonton di tv aja. Sama artis yang jadi bintang tamu juga sering tu bang," ujarnya berkelakar.
Loui mengatakan, suka dengan make up karena naluri sebagai perempuan. Ia yang berperawakan sedikit tomboy ini yakin, setomboy-tomboynya perempuan, pasti memiliki minat berdandan.
Anggraini Moryana masih muda. Usianya baru 25 tahun. Namun ia adalah salah satu pemuda yang mengikuti Ekspedisi Nusantara Jaya, yang bertepatan dengan Sail Selat Karimata 2016 di Kabupaten Kayong Utara Kalbar. Kegiatan yang dinisiasi Kementrian Koordinator Kemaritiman ini memberikan tugas kepadanya untuk memberikan dampingan kepada warga di daerah yang statusnya terpencil dan pedalaman.
SelengkapnyaAnggraini Moryana masih muda. Usianya baru 25 tahun. Namun ia adalah salah satu pemuda yang mengikuti Ekspedisi Nusantara Jaya, yang bertepatan dengan Sail Selat Karimata 2016 di Kabupaten Kayong Utara Kalbar. Kegiatan yang dinisiasi Kementrian Koordinator Kemaritiman ini memberikan tugas kepadanya untuk memberikan dampingan kepada warga di daerah yang statusnya terpencil dan pedalaman.
"Beruntung juga sih karena yang apply aplikasi itu ribuan se Indonesia, dan setia 1 propinsi hanya dipilih 15 orang, yang saya salah satunya. Nah dalam tugas itu kami ke Desa Padang, melakukan baksos, dan memberikan edukasi ke masyarakat. Karena saya lulusan kesehatan lingkungan, ya itu yang saya coba dampingi," katanya.
Sejak SMA Fitra Halomoan Tua Pasaribu (22) punya hobi melukis dan menggambar. Lalu ia masuk dunia desain fashion. Awalnya keluarganya tidak mendukung. Ia bercerita, alasan keluarga karena dunia desain identik dengan LGBT. Apalagi dunia desainer belum bisa menjadi mata pencaharian di Pontianak.
SelengkapnyaSejak SMA Fitra Halomoan Tua Pasaribu (22) punya hobi melukis dan menggambar. Lalu ia masuk dunia desain fashion. Awalnya keluarganya tidak mendukung. Ia bercerita, alasan keluarga karena dunia desain identik dengan LGBT. Apalagi dunia desainer belum bisa menjadi mata pencaharian di Pontianak.
"Ya ketakutan keluarga sih itu. Karena keluarga berpikir kalau kerja ya jadi akuntan, jadi pegawai, jadi PNS gitu. Kalau desainer kayak bukan kerja mungkin dianggap," katanya.
Namun lewat perjuangannya meyakinkan orang tua, Fitra yang kini juga melengkapi hari-harinya dengan menjadi penyiar radio dan MC itu, berhasil membuat orang tuanya bangga. Kini ia sedang mengikuti lomba desain fashion di Pontianak. Ia berharap, dunia desain bisa berkembang di daerahnya.
Lisnawati (29) adalah seorang PNS di Kecamatan Mukok Sanggau, Pontianak. Namun, di usia muda lulusan IPDN ini malah memutuskan mengundurkan diri. "Banyak yang mengecam awalnya. Katanya kacang lupa kulitlah, terus sayang ninggalin PNS karena banyak yang mau jadi PNS malahan gagal lah, aduh banyak sekali. Tapi saya tetap kokoh dengan pendirian ingin berwirausaha," katanya.
SelengkapnyaLisnawati (29) adalah seorang PNS di Kecamatan Mukok Sanggau, Pontianak. Namun, di usia muda lulusan IPDN ini malah memutuskan mengundurkan diri. "Banyak yang mengecam awalnya. Katanya kacang lupa kulitlah, terus sayang ninggalin PNS karena banyak yang mau jadi PNS malahan gagal lah, aduh banyak sekali. Tapi saya tetap kokoh dengan pendirian ingin berwirausaha," katanya.
Akhirnya ia terjun di marketing dan asuransi menjadi seorang manager. "Bagiku sukses itu pilihan dan berbagi. Ketika kita mau sukses harus fokus pada satu hal, jangan semuanya diembat. Dan berbagi yang penting. Ilmu kalau dimakan sendiri berarti gak berilmu, ya harus dibagi dong," katanya.
Juliana Novita Lawas (19) semasa SMA sudah aktif di dunia olahraga. Ia selalu menjadi 10 besar pelari jauh 1.500 meter tingkat Kalbar. Ia juga jadi atlet bola voli.
SelengkapnyaJuliana Novita Lawas (19) semasa SMA sudah aktif di dunia olahraga. Ia selalu menjadi 10 besar pelari jauh 1.500 meter tingkat Kalbar. Ia juga jadi atlet bola voli.
Awalnya ia bercita-cita mengenyam kuliah di Fakultas Pendidikan Jasmani. Namun karena permintaan keluarga dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Julia mengambil jurusan Akuntansi.
"Saya gak tau juga pertimbangan keluarga, tapi yang pasti saya yakin itu yang terbaik. Sampai saat ini sih enjoy saja menjalaninya," ujarnya.
Hidup adalah keyakinan memilih jalan. Herman alias Akin (40) melakukan itu. Ia banting setir dari usaha handphone ke usaha es krim. Ia mengambil keputusan ini karena ingin melanjutkan resep rahasia mertuanya Lim Yang Theng yang sangat terkenal di dunia kuliner utamanya es krim di Pontianak sejak 60 tahun lalu.
SelengkapnyaHidup adalah keyakinan memilih jalan. Herman alias Akin (40) melakukan itu. Ia banting setir dari usaha handphone ke usaha es krim. Ia mengambil keputusan ini karena ingin melanjutkan resep rahasia mertuanya Lim Yang Theng yang sangat terkenal di dunia kuliner utamanya es krim di Pontianak sejak 60 tahun lalu.
"Alasan utama sih itu, mertua saya udah hampir 90, dan hanya buka di Gajahmada saja. Jadi dia panggil saya untuk buka cabang di Jalan Suprapto ini," katanya. Nama eskrimnya memang cukup unik yakni Kongpou yang artinya kakeknya Pou.
Jatuh bangun berwirausaha sudah pernah dilakukan Erwansyah (45). Ia pernah buka usaha di bidang ekspor-impor arang tempurung dan rotan, bahkan juga memiliki travel. Namun selalu gagal di tengah jalan.
SelengkapnyaJatuh bangun berwirausaha sudah pernah dilakukan Erwansyah (45). Ia pernah buka usaha di bidang ekspor-impor arang tempurung dan rotan, bahkan juga memiliki travel. Namun selalu gagal di tengah jalan.
"Saya memang tak pernah kerja sama orang, selalu wirausaha, dan selama ini ya bangkit tapi banyak gagalnya," katanya sembari tertawa. Iwan memang tak pernah putus akal. Ia membuka kedai makanan berjalan yang dinamakan Off Road Chicken (OFC).
Iwan sehari-hari memang berjualan di Jalan Sutan Syahrir Pontianak. Konsep Food Truck dipilih karena lebih gampang untuk berpindah tempat dan tidak menyewa.
Jufriadi (34) memilih meninggalkan jabatan sebagai Manager Marketing yang dilakoni selama 9 tahun. Selepas berhenti, Jufri bersama istri dan dua anaknya yang masih kecil pada 2013 lalu bekerja serabutan. Beberapa kali ia ditolak saat melamar kerja.
SelengkapnyaJufriadi (34) memilih meninggalkan jabatan sebagai Manager Marketing yang dilakoni selama 9 tahun. Selepas berhenti, Jufri bersama istri dan dua anaknya yang masih kecil pada 2013 lalu bekerja serabutan. Beberapa kali ia ditolak saat melamar kerja.
"Dari kecil memang saya tak punya cita-cita kayak anak lain, ingin jadi presiden, tentara, atau polisi. Nah saya ingin jadi direktur. Itulah yang membuat mindset saya selalu ingin usaha," katanya.
Akhirnya dengan modal Rp 600.000, ia membuka usaha cuci sofa. Berkat kerja kerasnya, Jufri menjadi pelopor pertama bisnis cuci sofa di Kalbar. Kini, tercatat tak kurang dari 350 pelanggan dalam setahun, sudah dilayani.
Selviani Rumapea (22) selalu memulai pagi dengan minum air putih dan melatih pita suaranya dengan mengolah vokal. Mahasiswi semester akhir fakultas ekonomi Untan Pontianak ini memang berkecimpung di dunia tarik suara sejak SMP. Ia tergabung di salah satu grup paduan suara di Kalbar.
SelengkapnyaSelviani Rumapea (22) selalu memulai pagi dengan minum air putih dan melatih pita suaranya dengan mengolah vokal. Mahasiswi semester akhir fakultas ekonomi Untan Pontianak ini memang berkecimpung di dunia tarik suara sejak SMP. Ia tergabung di salah satu grup paduan suara di Kalbar.
"Aku bisa keliling Indonesia karena menyanyi. Ya aku kembalikan sama Yang Maha Memberi dengan bentuk pelayanan," ujarnya. Di luar dunia menyanyi, ia berbisnis kue. Sejumlah kreasi tart susu telah dihasilkannya, yang tentu menggugah selera.
"Beberapa penelitian saya mengenai indeks demokrasi, indeks kemerdekaan pers, hingga kecendrungan politik yang selaras dengan rencana pembangunan daerah, menjadi sumbangsih untuk daerah," kata Jumadi (45). Ia memang dikenal sebagai peneliti sekaligus dosen.
Selengkapnya"Beberapa penelitian saya mengenai indeks demokrasi, indeks kemerdekaan pers, hingga kecendrungan politik yang selaras dengan rencana pembangunan daerah, menjadi sumbangsih untuk daerah," kata Jumadi (45). Ia memang dikenal sebagai peneliti sekaligus dosen.
Jumadi sering bersuara keras soal ketimpangan pembangunan daerah. Ia berusaha dengan disiplin ilmu yang ia miliki bisa membantu memecahkan masalah daerah. "Ilmu itu saya peroleh untuk masyarakat. Saya kembalikan ke masyarakat, lewat penelitian, lewat tulisan opini saya diberbagai media massa," tukasnya.
"Saya tak cocok kerja apapun nak, cuma berdagang saja, dari dagang sate, nasi kuning, nah sekarang rujak," kata Syamsumin (64) yang akrab disapa pak Say. Usianya memang tak muda lagi.
Selengkapnya"Saya tak cocok kerja apapun nak, cuma berdagang saja, dari dagang sate, nasi kuning, nah sekarang rujak," kata Syamsumin (64) yang akrab disapa pak Say. Usianya memang tak muda lagi.
Ia sudah dua tahun tahun berjualan rujak. Warga Jalan Tebu Pontianak ini memilih berjualan rujak Singkawang akibat masih jarang panganan itu dijual. "Bumbunya khas kalau Singkawang, dan pakai Udang kecil juga. Makanya banyak yang beli karena beda dari yang lain," terangnya.
Usianya baru 7 tahun. Tapi Naura Deandra Satriani sudah dikenal menjadi blogger cilik. Nawa, panggilan akrabnya, suka dunia flora dan fauna. Dua isu itu sering dijadikannya bahan perbincangan, lukisan, bahkan tak luput juga dalam tulisan yang setiap pekan disuguhkannya, dengan bahasa khas anak-anak tentunya.
SelengkapnyaUsianya baru 7 tahun. Tapi Naura Deandra Satriani sudah dikenal menjadi blogger cilik. Nawa, panggilan akrabnya, suka dunia flora dan fauna. Dua isu itu sering dijadikannya bahan perbincangan, lukisan, bahkan tak luput juga dalam tulisan yang setiap pekan disuguhkannya, dengan bahasa khas anak-anak tentunya.
"Suka sama hewan, kan banyak yang bisa digambar. Taunya sih dari papa, papa kan sering nulis tuh soal hewan, pohon yang dilindungi Pemerintah, nah mulai sukanya pas tanya-tanya papa, gitu," ujarnya.
Untuk melengkapi kesenangannya, saat ini Nawa memang sedang sangat hobi memotret. Libur dan akhir pekan dijadikan waktu 'hunting foto' yang dilakukannya bersama ibunda. Di usianya sekarang, banyak tulisan, lukisan bahkan foto yang dihasilkannya.
Sandi Yudha Widaya (24) lebih memilih membuka usaha sendiri daripada bekerja ikut perusahaan. Dengan modal awal Rp 600.000 yang diambil dari tabungan uang jajannya, menggunakan motor yang telah dimodifikasi untuk menjual bubur ikan. Kini ia punya dua lapak yakni di Jalan Pancasila dan di Jalan Sepakat 2 Ahmad Yani di depan Warkop Bandar.
SelengkapnyaSandi Yudha Widaya (24) lebih memilih membuka usaha sendiri daripada bekerja ikut perusahaan. Dengan modal awal Rp 600.000 yang diambil dari tabungan uang jajannya, menggunakan motor yang telah dimodifikasi untuk menjual bubur ikan. Kini ia punya dua lapak yakni di Jalan Pancasila dan di Jalan Sepakat 2 Ahmad Yani di depan Warkop Bandar.
"Masyarakat suka, selain mungkin karena kita utamakan halal, kita gunakan bubur yang benar bubur, bukan nasi berkuah seperti bubur ikan kebanyakan. Kalo itung profit ya Alhamdulilah lumayan dari dua lapak, itu bisa 20 sampai 50 mangkuklah tiap pagi jam 07-11. Semangkuknya Rp10 ribu, bisalah itung sendiri," katanya sembari tertawa.
Meski sudah jadi pengusaha, mantan ketua organisasi mahasiswa di kampusnya 2012 lalu ini ikut banyak kegiatan. Salah satunya adalah dakwah melalui media massa milik Mesjid Raya Mujahidin Pontianak. Ia juga senang dipanggil "tukang bubur ikan".
Supriadi Gunawan (31) akrab disapa Gugun Srodok. Warga Jalan Pramuka Sungai Rengas ini terbilang ulet dalam bekerja. Dulu ia dikenal sebagai loper koran sambil kuliah. "Sejak kerja di jalan saya belajar hidup ini keras, gak kerja gak makan," katanya.
SelengkapnyaSupriadi Gunawan (31) akrab disapa Gugun Srodok. Warga Jalan Pramuka Sungai Rengas ini terbilang ulet dalam bekerja. Dulu ia dikenal sebagai loper koran sambil kuliah. "Sejak kerja di jalan saya belajar hidup ini keras, gak kerja gak makan," katanya.
Lalu dengan semangat tinggi dan kerja keras, ia mulai mencoba usaha rental mobil. Untuk pengembangan usaha lalu ia mendirikan perusahaan Tare Bintang Transport dan kini sudah memiliki 4 mobil pribadi dan puluhan mobil rekanan. Meski sudah sukses, ia tetap pekerja keras. Ia masih sering menjadi sopir mengantarkan pelanggan.
"Paling jauh itu ke Kalteng ya dua hari dua malamlah dari Pontianak. Saya memang senang berkomunikasi, jadi banyak yang akrab dan menyebarkan nomor hp saya ke orang lain, hitung-hitung marketing gratisanlah,"ujarnya.
Zulkiplie Muhammad Sanie biasa disapa Zul MS. Ia cukup dikenal di dunia seni lukis di Pontianak, Aceh, bahkan Indonesia. Baru-baru ini Zul mengikuti Art International Festival di Snina 2016, dan juga berpameran tunggal di kota Bratislava, Ibukota Negara Slovakia. Beragam karya lukisannya memang terbilang apik, berbeda dan eksentrik. Pasalnya semua jenis bahan dasar lukis bisa digunakannya, bahkan baru ini ia menggunakan air kopi menjadi tinta lukisannya.
SelengkapnyaZulkiplie Muhammad Sanie biasa disapa Zul MS. Ia cukup dikenal di dunia seni lukis di Pontianak, Aceh, bahkan Indonesia. Baru-baru ini Zul mengikuti Art International Festival di Snina 2016, dan juga berpameran tunggal di kota Bratislava, Ibukota Negara Slovakia. Beragam karya lukisannya memang terbilang apik, berbeda dan eksentrik. Pasalnya semua jenis bahan dasar lukis bisa digunakannya, bahkan baru ini ia menggunakan air kopi menjadi tinta lukisannya.
"Seni itu harus total, ketika setengah-setengah maka hasilnya juga setengah-setengah. Saya memulai ini dari saya kecil sampai sekarang, di tengah kurangnya perhatian dalam dunia lukisan saat ini," katanya. Pemilik Galeri Zul MS baik di Pontianak dan Aceh ini memang terbilang seniman tulen. Tidak hanya lukisan yang dihasilkan. Melainkan juga tulisan.
Hasdedyansyah (48) bermusik sejak kecil. Waktu itu, musik dianggap tidak punya masa depan. Namun, berkat ketekunannya ia berhasil membuktikan jika bermusik punya masa depan yang cerah. "Karena musik itu mainnya harus dari hati, gak bisa cuma niatan cari duit aja, duit itu bonuslah," katanya.
SelengkapnyaHasdedyansyah (48) bermusik sejak kecil. Waktu itu, musik dianggap tidak punya masa depan. Namun, berkat ketekunannya ia berhasil membuktikan jika bermusik punya masa depan yang cerah. "Karena musik itu mainnya harus dari hati, gak bisa cuma niatan cari duit aja, duit itu bonuslah," katanya.
Dedy, panggilan akrabnya sudah mendidik 800 orang murid di sekolah musik yang didirakanya. Di musik, ia juga banyak menciptakan lagu daerah. Beberapa lagu daerahnya dinyanyikan oleh penyanyi lokal Kalbar, dan Pontianak tentunya.
"Kita itu dari bawah, dari kecil juga. Jangan udah orang banyak kenal lalu pasang tarif tinggi, ke acara gang, acara kampung lalu ndak mau. Sekali lagi main musik itu dari hati, kalo soal uang, soal duit, udah ada jatah dari-Nya masing-masing," tukasnya.
Nanda Cherly Yovani (27) atau biasa dikenal dengan Selii Candra Satryo awalnya phobia kucing. Tapi seorang teman malah meminta membantunya mengelola salon kucing di kawasan Sungai Bangkong Pontianak. Dari membantu bidang marketing, ia akhirnya menjadi terapist kucing.
SelengkapnyaNanda Cherly Yovani (27) atau biasa dikenal dengan Selii Candra Satryo awalnya phobia kucing. Tapi seorang teman malah meminta membantunya mengelola salon kucing di kawasan Sungai Bangkong Pontianak. Dari membantu bidang marketing, ia akhirnya menjadi terapist kucing.
"Kita sistemnya memang selain cari keuntungan juga edukasi kepada pemelihara. Jadi setelah kucing dibersihkan tubuhnya, bulu-bulunya sampai ke telinga, nah pemilik juga bisa lakuin di rumah, agar kucingnya selalu sehat," katanya.
Pendapatan dari salon memang masih kurang. Dan untuk mencukupi, ia terkadang jemput bola ke konsumen dengan mengantar jemput hewan peliharaan itu untuk diterapi. Keseharian ibu satu anak ini juga tak hanya dihabiskan untuk terapi kucing. Ia juga sangat mencintai seni merajah tubuh.
Usia Asmar tak muda lagi. Ia sudah 55 tahun. Namun di usianya itu ia tetap setia mengayuh becaknya. Sedari pagi, Asmar membantu tetangganya yang membuka rumah makan di kawasan Pontianak Timur. Bantuannya yakni menyediakan becaknya untuk mengangkut barang belanjaan tetangganya itu dari Pasar Flamboyan di kawasan Pontianak Selatan ke rumah makan di kawasan Pontianak Timur.
SelengkapnyaUsia Asmar tak muda lagi. Ia sudah 55 tahun. Namun di usianya itu ia tetap setia mengayuh becaknya. Sedari pagi, Asmar membantu tetangganya yang membuka rumah makan di kawasan Pontianak Timur. Bantuannya yakni menyediakan becaknya untuk mengangkut barang belanjaan tetangganya itu dari Pasar Flamboyan di kawasan Pontianak Selatan ke rumah makan di kawasan Pontianak Timur.
"Kerja dari subuhlah nak, angkut sayur, ikan, beras, banyaklah untuk keperluan rumah makan. Ya bos tu kasihan mungkin liat saya tak ada kerja nunggu penumpang, jadi disewa tiap hari," katanya. Ia mengaku mendapatkan upah sekali mengantar Rp 15.000. Jika selesai mengantar dan menjemput tetangganya, Asmar sehari-hari memang bekerja serabutan.
Kendati dalam garis ekonomi menengah kebawah, Asmar mengaku menanamkan nilai-nilai agama yang kuat di keluarga. Salah satunya bangun pagi dan salat berjamaah. "Awal kita bangun dan beraktifitas ya dimulai dengan doa kepada yang ngasih rezeki. Alhamdullilah rezeki kan gak putus, anak bisa sekolah, cucu bisa makan," tukasnya.
Muhammad Adip Zuhri (17) meninggalkan daerah asalnya di Wajak, Malang, Jawa Timur dan merantau ke Kota Pontianak. Sehari-hari Adip sapaan akrabnya, berjualan bakso Arema Malang dengan motor yang telah dimodifikasi. Lumayan, dalam sehari ia berhasil mendapatkan hingga Rp 200.000.
SelengkapnyaMuhammad Adip Zuhri (17) meninggalkan daerah asalnya di Wajak, Malang, Jawa Timur dan merantau ke Kota Pontianak. Sehari-hari Adip sapaan akrabnya, berjualan bakso Arema Malang dengan motor yang telah dimodifikasi. Lumayan, dalam sehari ia berhasil mendapatkan hingga Rp 200.000.
Dengan usahanya itu ia bercita-cita bisa masuk sekolah sepak bola. Ia ingin sekali menjadi pemain sepak bola nasional. Saat di Malang, ia sempat hendak masuk Akademi Sepakbola Junior. Namun lantaran tak ada biaya, akhirnya harapannya pupus.
"Niatku cuma mau main bola mas, bawa nama Indonesia. Orang anggap mimpi, tapi aku yakin bisa mas," tutupnya.
Dede Suchandra (29) lulus STKIP PGRI Pontianak lalu menjadi guru. Ade sapaan akrabnya juga pernah menjadi seorang Mentor di Universitas Terbuka Pontianak. Ia juga sangat gemar dunia fotografi. Maka tak jarang beragam acara ia datangi hanya untuk mendapatkan momen tertentu.
SelengkapnyaDede Suchandra (29) lulus STKIP PGRI Pontianak lalu menjadi guru. Ade sapaan akrabnya juga pernah menjadi seorang Mentor di Universitas Terbuka Pontianak. Ia juga sangat gemar dunia fotografi. Maka tak jarang beragam acara ia datangi hanya untuk mendapatkan momen tertentu.
"Kadang ke acara nikahan, acara festival aku selalu suka, karena banyak gimik bagus disitu yang bisa diabadikan," katanya. Kendati selalu mengaku belum profesional dalam fotografi, namun ada yang unik ketika ia melakukan hobinya itu. Berpakaian sangat rapi menjadi ciri pemuda satu ini.
"Ibu sudah 2 tahun buka kantin di Malaysia. Di Pontianak ada beberapa tempat tapi sebagian sudah tutup. Di malaysia ada dua tempat di Batu Kawah dan di Stutong. Ya, Ibu mikirnya kalau lama-lama down, ngapain kan. Ada peluang dirikan usaha, eh berkah ternyata," katanya.
Selengkapnya"Ibu sudah 2 tahun buka kantin di Malaysia. Di Pontianak ada beberapa tempat tapi sebagian sudah tutup. Di malaysia ada dua tempat di Batu Kawah dan di Stutong. Ya, Ibu mikirnya kalau lama-lama down, ngapain kan. Ada peluang dirikan usaha, eh berkah ternyata," katanya.
Bu Cahya memang terbilang multitalenta. Tak hanya pandai memasak dan membangun jejaring catering serta marketing, ia juga sangat cekatan menjadi penata rias. "Perempuan Indonesia itu serba bisa, saya belajar banyak dari dulu apa saja, dan ternyata semua keterampilan itu bisa menghasilkan berkah, intinya asal kita mau saja," kata warga Sungai Raya, Komplek Raya 2 Pontianak
Kuliah Swinburne University, Kuching-Sarawak Malaysia, dimanfaatkan Andi Kurniawan (22) dengan hal positif. Ia menjadi volunter atau tenaga sukarela di Konsulat Jendral Rebulik Indonesia (KJRI) Kuching. Warga Jalan Ketapang, Pontianak ini membantu sejumlah kegiatan KJRI.
SelengkapnyaKuliah Swinburne University, Kuching-Sarawak Malaysia, dimanfaatkan Andi Kurniawan (22) dengan hal positif. Ia menjadi volunter atau tenaga sukarela di Konsulat Jendral Rebulik Indonesia (KJRI) Kuching. Warga Jalan Ketapang, Pontianak ini membantu sejumlah kegiatan KJRI.
"Sekalian cari pengalaman. Karna di Sarawak kan gak bisa sembarangan kerja part time. Nah kalo di Konjen kan bisa. Ya syukur juga bisa di sini karena banyak sekali yang bisa dipelajari, seperti bantuin kesulitan TKI, kendati by moment ya," katanya. Ia juga aktif di organisasi Mahasiswa Indonesia di Sarawak Malaysia. Ia kerap diutus dalam berbagai diskusi antar negara bagian, di Kerajaan Malaysia.
Erida Susanti (28) lama bekerja di perusahaan asuransi di Pontianak. Namun, ia tak hanya disibukkan kerja kantoran saja, melainkan juga membuat kue pesanan semisal tart susu dan keju. Usaha kue nya ini cukup laris di pasaran.
SelengkapnyaErida Susanti (28) lama bekerja di perusahaan asuransi di Pontianak. Namun, ia tak hanya disibukkan kerja kantoran saja, melainkan juga membuat kue pesanan semisal tart susu dan keju. Usaha kue nya ini cukup laris di pasaran.
"Itu untuk isi waktu luang aja sama sepupu, cuma hasilnya lumayan ya, ya sudah diteruskan. Kadang kita kewalahan juga kalau pesanan banyak. Tapi yang terpenting konsumen suka. Nah kadang kalau ada yang beli kue, sambil kutawarin asuransi biasanya," katanya.
Memulai karier sebagai jurnalis dan fotografer di berbagai media daerah Kalbar, Leo Prima (36) kini juga menapaki karier menjadi dosen di Prodi Ilmu Komunikasi, Fisipol Universitas Tanjungpura Pontianak. Warga Jalan KH. Wahid Hasyim Pontianak ini memang terbilang unik ketika mengajar di kelas. Tak ayal mahasiswanya kerap terpingkal ketika candaan dilontarkan saat mengajar.
SelengkapnyaMemulai karier sebagai jurnalis dan fotografer di berbagai media daerah Kalbar, Leo Prima (36) kini juga menapaki karier menjadi dosen di Prodi Ilmu Komunikasi, Fisipol Universitas Tanjungpura Pontianak. Warga Jalan KH. Wahid Hasyim Pontianak ini memang terbilang unik ketika mengajar di kelas. Tak ayal mahasiswanya kerap terpingkal ketika candaan dilontarkan saat mengajar.
" Konsepku ngajar itu harus Fun, karena kalau serius apa coba yang bisa masuk? Yang ada mereka jenuh dan gak bisa nerima mata kuliah dengan baik," katanya. Selain pola mengajar asyik yang dibangun, Leo juga kerap mengajak mahasiswanya untuk outclass guna melihat langsung kejadian di lapangan bahkan membangun sudut pandang yang tentu selaras dengan mata kuliah yang diajarnya.
Jauh dari anak istri demi tugas negara menjadi pekerjaan berat sekaligus bangga. Itulah yang dirasakan Muhammad Mardian Tasman (30). Staf honorer di Konsulat Jendral Republik Indonesia di Kuching, Sarawak, Malaysia ini sudah 2 tahun bekerja di negara serumpun itu.
SelengkapnyaJauh dari anak istri demi tugas negara menjadi pekerjaan berat sekaligus bangga. Itulah yang dirasakan Muhammad Mardian Tasman (30). Staf honorer di Konsulat Jendral Republik Indonesia di Kuching, Sarawak, Malaysia ini sudah 2 tahun bekerja di negara serumpun itu.
Dian, begitu ia disapa, memang terbilang baru dalam urusan pelayanan TKI. Namun ia memang terpanggil untuk membantu dan melayani sejumlah TKI yang membutuhkan pertolongan, misal dalam pengurusan izin hingga TKI bermasalah.
"Saya kadang sebulan dua kali baru jumpa keluarga. Intinya sih kerja ini karena memang prihatin lihat nasib TKI kita, ada yang bermasalah, bahkan ada juga yang meninggal dunia," katanya.
Warga Sungai Jawi, Pontianak ini memang sejak mahasiswa terbilang berjiwa sosial tinggi. Banyak sekali kegiatan sosial yang diikutinya dan itu akhirnya menjadi modal dasar untuk bekerja di Konsulat, demi melayani sejumlah kebutuhan dan pengurusan administrasi TKI.
Sahrul Badri (20) membantu orang tuanya berjualan sate di kawasan Perumnas 1, Kota Pontianak. Ia rela menunda kuliahnya demi membantu orang tuanya. “Bapak kan jualan sendiri, jadi aku ikut bantu sekalian nabung. Hasilnya buat kuliah nanti,” katanya.
SelengkapnyaSahrul Badri (20) membantu orang tuanya berjualan sate di kawasan Perumnas 1, Kota Pontianak. Ia rela menunda kuliahnya demi membantu orang tuanya. “Bapak kan jualan sendiri, jadi aku ikut bantu sekalian nabung. Hasilnya buat kuliah nanti,” katanya.
Ia buka jualan mulai pukul 6 pagi hingga pukul 12 malam. Ia bergantian jualan dengan bapaknya. Selain banyak mendapat teman baru yakni pelanggan yang kerap diajaknya bercerita, ia juga menyerap semua ilmu marketing ala ayahnya yang membuat satenya sangat terkenal di kawasan itu, selain memang karena rasanya yang sangat enak.
Anong Thea Ananda (21) merupakan mahasiswi berprestasi. Lulusan Fakultas Kehutanan Untan Pontianak ini mendapat beasiswa studi S2 di Perancis program Magister of Science BIWEM/Master Biomass Waste for Energy and Materials.
SelengkapnyaAnong Thea Ananda (21) merupakan mahasiswi berprestasi. Lulusan Fakultas Kehutanan Untan Pontianak ini mendapat beasiswa studi S2 di Perancis program Magister of Science BIWEM/Master Biomass Waste for Energy and Materials.
"Dukungan penuh diberikan kampus hingga bisa kayak gini, orang tua dan keluarga juga menjadi supporter utamaku untuk bisa lanjut kuliah diluar negeri," katanya.
Di era teknologi kata Anong, semua bisa disatukan. Misalnya saja teknologi dengan lingkungan, dan juga dengan sampah yang ternyata bisa menjadi sumber energi terbarukan, yang tentu ramah lingkungan.
Florentina Iriyanti Wina (26) mendalami bahasa mandarin yang akhirnya membawa dirinya ke Negeri tirai bambu RRC selama setahun untuk mengenyam pendidikan bahasa mandarin.
SelengkapnyaFlorentina Iriyanti Wina (26) mendalami bahasa mandarin yang akhirnya membawa dirinya ke Negeri tirai bambu RRC selama setahun untuk mengenyam pendidikan bahasa mandarin.
"Aku mendapatkan penawaran langsung dari HUAQIAO UNIVERSITY untuk melanjutkan kembali pendidikan bahasa, seni dan sastra mandarin. Dulu emang ada kursus di Pontianak, ya aku tekuni dan akhirnya dapat tawaran itu tahun 2015 kemarin," katanya.
Lulusan FKIP Untan Pontianak ini memang terbilang aktif sejak kuliah. Di tahun 2011, Flo sapaan akrabnya, pernah mewakili Kabupaten Landak dan Propinsi Kalbar untuk mengikuti program pertukaran pemuda dalam Program Jambore Pemuda Indonesia di Malang, kemudian di Provinsi Papua Barat, yakni di Manokwari. Kini ia menjadi penerjemah bahasa mandarin berlisensi yang jasanya kerap digunakan oleh berbagai instansi.